JAKARTA – Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yakni Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS sudah beberapa bulan ini resmi mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres di Pilpres 2024.
Koalisi parpol itu tertuang melalui piagam kerja sama yang ditandatangani ketiganya sekitar Maret 2023 lalu. Sementara NasDem sendiri telah mendeklarasikan Anies sejak Oktober 2022. Namun, hingga kini sosok cawapres masih belum juga diumumkan.
Seiring berjalannya waktu, tiga partai anggota koalisi itu malah menunjukkan sikap berlainan. NasDem membuka peluang cawapres Anies diumumkan last minute, Demokrat mendesak segera diumumkan, sementara PKS tak masalah kapan saja pengumuman dilakukan.
Sejumlah nama pun digaungkan masing-masing partai bisa menjadi cawapres Anies. Teranyar, nama putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Yenny Wahid mencuat jadi pendamping Anies di Pilpres 2024.
Merespons hal tersebut, Yenny menyatakan kesiapannya seraya menyebut memiliki kedekatan khusus dengan eks Gubernur DKI Jakarta itu.
Mencuatnya nama Yenny itu pun menimbulkan respons yang berbeda-beda dari parpol pengusung Anies. NasDem dan PKS merespons positif, sementara Demokrat melontarkan pernyataan bernada kurang sepakat.
Pengamat politik Universitas Padjadjaran Idil Akbar menilai Anies kini berada pada posisi yang dilematis. Anies berada dalam kondisi itu lantaran harus sangat hati-hati dalam memilih cawapresnya.
Ia menilai eks Gubernur DKI Jakarta itu harus bisa memilih cawapresnya dengan tetap meredam gejolak dalam koalisi. Anies harus bisa memilih cawapres yang diterima seluruhnya.
Idil pun menyoroti pertemuan AHY dengan partai di luar koalisi belakangan ini seperti dengan PDIP, ataupun Gerindra.
Ia berpendapat pertemuan-pertemuan itu sebagai early warning dari Demokrat ke koalisi.
“Sebetulnya ini satu lampu kuning juga bagi Koalisi Perubahan ketika memang politik akomodatif pada Demokrat itu tidak sampai,” kata Idil kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/8).
Menurutnya, Demokrat bisa saja berbalik arah tak lagi mendukung Anies jika politik akomodatif terhadap mereka tak tercapai.
“Karena bagaimanapun ketika Demokrat menarik dukungan kepada Anies, maka secara otomatis Anies enggak bisa maju karena kurang suara,” ujar Idil.
Berbeda dengan Idil, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan Koalisi Perubahan kini dalam kondisi yang baik. Ia mendasarkan pendapatnya itu lantaran koalisi itu nampak belum tergoda menyerang koalisi lain.
Lantas ia pun membandingkannya dengan poros lain yang dinilai saling klaim satu sama lain.
“Berbeda dengan koalisi PDIP dan Gerindra yang sudah terbaca saling klaim dukungan Jokowi, hingga perebutan relawan Jokowi,” kata Dedi kepada CNNIndonesia.com.
Ia berpendapat waktu ideal menentukan sosok cawapres Anies ialah di saat-saat terakhir pendaftaran. Pengumuman cawapres dalam waktu dekat ini justru bisa menjadi bumerang bagi Koalisi Perubahan.
“Karena lawan bisa saja sedang menunggu siapa yang akan dipilih Anies,” ucapnya.
Idil juga mengomentari mencuatnya nama Yenny Wahid yang dinilai bertujuan meraup suara kaum Nahdliyin. Ia pun menyinggung seberapa besar efek Yenny dalam memberikan sumbangan elektoral basis massa NU jika Anies menunjuknya.
Menurutnya, suara kaum Nahdliyin hari ini betul-betul diperebutkan, terlebih tokoh NU lainnya seperti Khofifah Indar Parawansa dan Cak Imin juga digadang maju.
Idil menuturkan sikap Demokrat yang seakan tak setuju dengan nama Yenny lantaran mereka mengacu pada hasil survei belakangan yang di mana, elektabilitas Anies tinggi jika dipasangkan dengan AHY.
Selain itu, mereka juga memiliki kepentingan untuk partai politik mereka sendiri untuk tetap menjadikan AHY sebagai cawapres.
“Karena ketika AHY kemudian tidak bisa dimunculkan, maka Demokrat kan dapat terancam dari sisi elektoral, nah ini yang kemudian harus mereka jaga,” ucap dia.
“Demokrat ingin tidak ada nama lain selain AHY sebagai tokoh yang dipasangkan, dan ini juga sebagai pembuktian terhadap sejauh mana AHY mampu untuk meningkatkan perolehan suara Demokrat,” imbuhnya.
Dedi juga turut mengomentari munculnya nama Yenny Wahid. Menurutnya, Anies justru kehilangan kekuatan besar jika memilih Yenny.
Ia menyebut kendati diwacanakan, namun peluangnya jadi cawapres masih belum terbaca.
“Satu sisi Yenny tidak miliki basis massa sendiri, ia masih menginduk atau ditopang oleh pemilih Nahdliyin, dan itupun tidak besar,” ucap dia.
Dedi pun mengklaim kekuatan massa Yenny di NU itu tak sekuat Muhaimin Iskandar selaku Ketum PKB atau Gubernur Jawa Timur yang juga Ketum PP Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa.
Oleh karenanya, ia menilai perbedaan sikap Demokrat dengan NasDem soal Yenny selama ini masih sebatas opini.
Perbedaan itu belum menyentuh ke titik keretakan ideologi dalam memilih cawapres.
“Sisi lain, NasDem dipastikan mengakui modal AHY yang cukup potensial,” ujarnya. (Cnnindonesia.com).