JAKARTA — Mantan narapidana kasus korupsi yang mengajukan diri ikut dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak lepas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir batasan waktunya. Putusan ini dinilai membuka peluang besar terjadinya money politic dalam Pilkada serentak tahun ini.
Pengamat politik dari Komite Pemilih Indonesia (TEPI) Jeirry Sumampow mengatakan aturan baru yang dikeluarkan MK dapat dimanfaatkan peserta Pilkada menggunakan politik uang untuk mendapatkan suara. Sebab mereka seharusnya sudah tidak mendapatkan simpati setelah kesalahan yang dilakukannya.
“Putusan MK memberikan peluang mantan napi melakukan money politic untuk mendapatkan suara di tengah minimnya dukungan pasca ditahan,” kata Jeirry, Kamis (30/7).
Hal ini ditambah dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang cenderung apatis terhadap politik. Ketidakpedulian ini akibat rasa tidak percaya lagi terhadap pemimpin yang akan menjabat di daerahnya. Mereka tidak merasakan perubahan ketika siapapun menjabat sebagai kepala daerah.
Kondisi ini yang dinilainya menambah potensi praktek money politicberkembang subur. Mereka akhirnya termakan politik uang yang diberikan calon yang sejatinya sudah tidak layak dipilih.
Untuk itu, situasi seperti ini seharusnya dapat menjadi bahan evaluasi MK atas revisi aturan yang sudah dikeluarkannya. Ia menilai peraturan baru itu berdampak buruk bagi situasi kebangsaan Indonesia.
Sebelumya aturan mantan napi boleh mengikuti ajang Pilkada dibatasi minimal lima tahun setelah keluar tahanan. Namun putusan itu direvisi dengan menghapus batasan waktu mantan napi keluar penjara. (rol)