MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Para Pemohon, Muhammad Asrun, Heru Widodo, dkk, menguji ketentuan Pasal 1 angka 28 UU Pilkada yang mengatur bahwa hari yang dimaksud dalam penyelenggaraan Pilkada adalah hari kalender.
Sidang kedua perkara Nomor 134/PUU-XIII/2015 ini digelar pada Senin (30/11) di Ruang Sidang MK dengan agenda Pemeriksaan Perbaikan Permohonan. Dalam sidang tersebut, Pemohon menerangkan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim. Pemohon memperbaiki alasan permohonan, di antaranya akibat dari masih berlakunya Norma Pasal 1 angka 28 UU Pilkada yang menyatakan hari adalah hari kalender, maka pemberlakuan makna hari dalam Pasal 134, 140, Pasal 143, Pasal 146, Pasal 148, Pasal 149, Pasal 150, dan Pasal 154 UU Pilkada menimbulkan ketidakpastian hukum dan bersifat diskriminatif apabila tidak dimaknai sebagai hari kerja sebagaimana Mahkamah Konstitusi telah putuskan makna hari dalam Ketentuan Pasal 157 ayat (8) UU Pilkada.
“Kemudian perbedaan makna hari yang untuk penyelesaian perselisihan hasil di Mahkamah Konstitusi ditetapkan dengan hari kerja, sedangkan penyelesaian administrasi, pelanggaran administrasi di Bawaslu, pidana di Gakkumdu, kemudian sengketa tata usaha negara di Peradilan Tata Usaha Negara ditetapkan dengan ketentuan hari kalender. Dengan merujuk pada Norma Pasal 1 angka 28, maka terang dan nyata hal tersebut menimbulkan diskriminasi dan ketidakpastian hukum bagi kalangan pencari keadilan maupun kalangan penegak hukum itu sendiri,” terang Heru Widodo mewakili Pemohon lainnya.
Kemudian, Pemohon juga menyampaikan simulasi apabila permohonan itu diajukan dalam tenggang waktu 3 hari kerja berbeda konsekuensinya dengan apabila ditetapkan hanya dengan tenggang waktu 3×24 jam. “Oleh karena itu, Yang Mulia, pemberlakuan ketentuan norma dalam Pasal 157 ayat (5) dan ayat (7) yang hanya memberikan waktu 3×24 jam telah menciptakan rasa ketidakadilan dan tidak memberikan kesempatan yang sama dalam arti yang proposional bagi pencari keadilan yang berada di luar Pulau Jawa. Dengan demikian menurut hemat Para Pemohon, frasa 3×24 jam dalam norma Pasal 157 ayat (5) dan ayat (7) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai 3×24 jam dalam hari kerja,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 28 UU Pilkada yang menyatakan “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: … 28. Hari adalah hari kalender”. Para Pemohon beralasan bahwa “hari kalender” sebagaimana diatur dalam ketentuan a quo dihitung secara hari normal, termasuk hari Sabtu, hari Minggu dan hari bertanggal merah. Pada hari-hari tersebut pelayanan jasa masyarakat tidak sepenuhnya dapat dilakukan. Selain itu, penggunaan “hari kalender” juga dinilai para Pemohon tidak mempertimbangkan faktor geografis Indonesia, di mana banyak daerah yang sulit dijangkau dengan transportasi darat, sehingga harus menggunakan layanan penerbangan yang jumlahnya tidak memadai dibandingkan dengan kebutuhan layanan penerbangan bagi masyarakat.
Selanjutnya, para Pemohon menilai bahwa implementasi pemberlakuan norma hari adalah hari kalender menimbulkan permasalahan dalam penyelesaian sengketa, baik di tingkat Bawaslu atau Panwaslu, tingkat persengketaan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara maupun pada persidangan perkara pidana Pemilukada di peradilan umum, yang dalam kelazimannya melakukan persidangan dengan menggunakan hari kerja, bukan hari kalender. Para Pemohon berpendapat norma mengenai penetapan hari yang memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum adalah sebagai yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Dalam Pasal 1 angka 28 UU No. 1/2015 menetapkan bahwa hari adalah hari kerja, namun dalam UU No. 8/2015 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 norma tersebut diubah dan diganti menjadi berbunyi hari adalah hari kalender.
Selain itu, Pemohon pun menjelaskan mengenai letak perbedaan antara pemilihan kepala daerah serentak dan pemilihan umum legislatif sekalipun penetapan batas pendaftaran ke Mahkamah Konstitusi, keberatan ke Mahkamah Konstitusi adalah 3×24 jam setelah KPU menetapkan rekapitulasi secara nasional yang membedakan terdapat jeda waktu yang cukup panjang antara tahapan penetapan rekapitulasi tingkat kabupaten/kota, kemudian provinsi, dan kemudian secara nasional. Untuk itulah para Pemohon meminta agar mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. (Lulu Anjarsari/IR–MK)