SEJUMLAH Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang mengajukan dua permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) melakukan perbaikan pada Rabu (7/11).
Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVI/2018 diajukan oleh Hendrik. Kemudian, lima Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, yaitu Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono.
Dalam sidang kedua tersebut, Pemohon Nomor 87/PUU-XVI/2018 yang diwakili Nurmadjito menyampaikan sejumlah perbaikan terkait dalil permohonan. Pemohon menyatakan UU a quo telah telah salah dalam penerapannya. Sehingga UU a quo seharusnya dinyatakan bertentangan dengan ketentuan yang sudah pernah diputuskan di dalam putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu tentang persyaratan-persyaratan eks pidana korupsi tidak boleh ikut sebagai peserta pemilu.
Selain itu, Nurmadjito juga mendalilkan UU ASN juga bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Rights yang mengatur bahwa setiap warga negara harus mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tentang hak-hak sipil.
“Kerugian-kerugian yang dialami oleh para Pemohon prinsipal, selain prinsipal ini dan pegawai negeri sipil lainnya, antara lain bahwa sekarang mereka dalam posisi yang kesulitan karena tidak ada jaminan lagi dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah itu secara hukum,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Sementara itu, Muhammad Sholeh selaku kuasa hukum Pemohon Nomor 88/PUU-XVI/2018 menjelaskan salah satu Pemohon menarik diri atas nama Fatah Yasin. Selain itu, Pemohon juga memperbaiki kedudukan hukum. “Pemohon menganggap pemberlakuan atau diberlakukannya Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 adalah perlakuan yang sewenang-wenang. Karena Para Pemohon tidak dijelaskan di dalam rumusan normanya ketentuan itu harus kena berapa? Karena di situ tidak mencantumkan tidak sama dengan ayat (2) maupun huruf d-nya,” jelasnya.
Sebelumnya, Pemohon perkara Nomor 87/PUU-XVI/2018, mendalilkan dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 87 ayat (4) UU ASN yang mengatur tentang pemberhentian ASN. Pemohon yang pernah menjadi terpidana mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, bahwa seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan “Asas Dapat Dilaksanakan”, “Asas Kejelasan Rumusan”, “Asas Keadilan”, “Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan”, dan “Asas Kepastian dan Kepastian Hukum.”
Sementara itu, Pemohon perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN yang dinilai mengandung ketidakpastian hukum karena menghalangi Pemohon untuk aktif, serta memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan. Untuk itu, para Pemohon meminta kedua pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.(Arif Satriantoro/LA–MK)