Pandangan Dewan Tentang Hukuman Mati pada UU Tipikor

Hukum21 Dilihat
banner 468x60

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) berpandangan, penentuan hukuman mati bukanlah suatu keputusan yang dibuat tanpa pertimbangan. Karena hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia dan dijamin dalam UUD 1945. Meskipun tindak pidana korupsi merupakan extraordinary crime, pengaturan mengenai hukuman mati bukan hal dapat dilakukan dengan mudah. Khususnya bila dikaitkan dengan kondisi bencana alam.

“Bencana alam memiliki beragam bentuk dan skala yang perlu dipertimbangkan dan diperhatikan. Apakah saat terjadi longsor atau banjir, pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati? Tentu masalahnya tidak sesederhana itu,” ungkap Anggota Komisi III DPR Anwar Rahman dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Selasa (5/3/2019) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR.

banner 336x280

Dikatakan Anwar, berdasarkan keterangan risalah pembahasan UU Tipikor dapat dilihat semangat DPR dan Pemerintah memberantas korupsi sangat besar. Termasuk perhatian terhadap pelaku kejahatan tindak pidana korupsi, khususnya dilakukan dalam hal terjadi bencana alam nasional yang harus diberatkan sanksinya dari seumur hidup menjadi pidana mati.

“Hal inilah yang menjadi pemberat atau special characteristicyang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang,” ujar Anwar kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman.

Selanjutnya, DPR menanggapi keinginan para Pemohon agar Mahkamah menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR berpendapat bahwa pandangan para Pemohon tidak tepat.

“Atas dasar apa para Pemohon mengkategorikan kejahatan korupsi saat bencana alam sebagai kejahatan kemanusiaan. Dasar hukum kejahatan terhadap kemanusiaan mengacu pada Pasal 7 ayat (1) The Rome Statute of The International Criminal Court yang menyebutkan kejahatan kemanusiaan merupakan perbuatan sebagai bagian dari serangan meluas terhadap penduduk sipil berupa antara lain pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan, perkosaan, kejahatan apartheid dan lainnya,” urai Anwar.

Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan saat keadaan bencana alam tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, DPR berpandangan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak ada hak dan atau kewenangan konstitusi yang dilanggar baik secara aktual maupun potensial.

Pada sidang pendahuluan, para Pemohon yang terdiri atas seorang dosen bernama Jupri (Pemohon I) dan dua mahasiswa, yakni Ade Putri Lestari (Pemohon II) dan Oktav Dila Livia (Pemohon III). Para Pemohon menguji Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapa tdijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”

Para Pemohon menyoroti kata “nasional” dalam penjelasan norma tersebut. Menurut para Pemohon, pelaku tindak pidana korupsi dalam dana penanggulangan bencana alam seolah-olah dilindungi oleh norma di atas sepanjang status bencana alam yang dananya dikorupsikan tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana alam nasional.

Dalam permohonan Nomor 4/PUU-XVII/2019 tersebut, para Pemohon menjelaskan bahwa setelah bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pipa high density polyethylene (HDPE) di daerah tersebut. Para Pemohon juga menjelaskan temuan lain yaitu dugaan korupsi di beberapa proyek pembangungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Para Pemohon berargumen, dengan tidak ditetapkannya status bencana alam nasional di Palu dan Donggala, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menjadi tidak dapat diterapkan.

Menurut para Pemohon, tindak pidana korupsi seharusnya termasuk dalam jenis kejahatan luar biasa, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, apalagi jika hal tersebut dilakukan dalam upaya penanggulangan bencana alam. Para Pemohon berargumen bahwa sanksi pidana hukuman mati seharusnya diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam, terlepas ditetapkan berstatus nasional atau tidak.

Sidang pengujian UU Tipikor pada Selasa, 5 Maret 2019 merupakan sidang terakhir sebelum sidang pengucapan putusan. Majelis Hakim meminta para Pemohon menyerahkan kesimpulan paling lambat pada Kamis, 14 Maret 2019. (Nano Tresna Arfana/LA–MKRI)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *