SEMARANG – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menjadi narasumber dalam diskusi hukum yang bertajuk “Pengembalian Hak Menduduki Jabatan Kepala Daerah Terhadap Mantan Terpidana Korupsi”, Sabtu (18/3) di Gedung Fakultas Hukum (FH) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.
Dalam kesempatan tersebut, Anwar menjelaskan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015. Dalam putusan itu, MK menyatakan pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) inkonstitusional bersyarat sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur di depan publik.
Pasal 7 huruf g UU Pilkada, jelas Anwar, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Selain itu, Mahkamah menghapus penjelasan pasal 7 huruf g yang memuat empat syarat bagi mantan napi agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah, sesuai putusan MK Tahun 2009 dan pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada, terkait syarat surat keterangan tidak pernah dipidana.
Kewenangan Luar Biasa
Dalam kesempatan tersebut, Anwar pun menjelaskan MK memiliki kewenangan luar biasa. Kewenangan itu berdasarkan amanat Pasal 24C UUD 1945. “Sesuai dengan UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat,” ujar Anwar.
Anwar melanjutkan, ada empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Kewenangan MK antara lain, menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah memutus pendapat DPR mengenai pelanggaran yang dilakukan Presiden atau Wakil Presiden.
“Kalau kita melihat empat kewenangan dan satu kewajiban MK sebenarnya sudah mencakup seluruh kehidupan bernegara. Jadi kalau ada hak konstitusional warga negara yang dilanggar, dirugikan maka bisa melakukan uji undang-undang yang dianggap merugikan hak konstitusional warga tersebut,” urai Anwar.
Menurutnya, MK melalui beberapa putusannya sudah mengarahkan bangsa dan negara Indonesia untuk bersama-sama menegakkan demokrasi sebagaimana yang diharapkan.“Hanya dengan sembilan hakim, MK bisa mengubah bahkan membatalkan produk undang-undang yang sudah disahkan oleh Presiden dan DPR,” kata Anwar kepada para mahasiswa yang hadir. (Hamdi/lul-MK)