KEWENANGAN penyidikan yang dimiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy O.S. Hiariej dalam sidang lanjutan uji materiil UU OJK yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (28/2/2019) siang.
Hiariej memaparkan ketentuan pidana dalam UU OJK menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak menyebut langsung PPNS untuk melakukan penyidikan tindak pidana keuangan. “Misalnya jika terjadi tindak pidana perbankan, siapakah yang berhak melakukan penyelidikan PPNS OJK atau Polri? Dalam hal ini, UU OJK bertentangan dengan prinsip lex certa dalam hukum pidana yang berujung pada ketidakpastian hukum,” sebutnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Pasal 1 ayat 4 UU OJK menyebutkan “Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya”. Ketentuan ini mengindikasikan bahwa UU OJK bersifat umum. “Sedangkan UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Asuransi bersifat lex specialis dan jelas core crime-nya. Maka seyogianya, kewenangan penyidik PNS tercantum dalam undang-undang yang bersifat lex specialis, seperti UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Asuransi,” terangnya.
Terkait ketidakjelasan tindak pidana pokok dalam UU OJK, Hiariej menjelaskan bahwa UU tersebut bersifat hukum pidana administratif, terutama hukum pidana khusus eksternal. Konsekuensinya hukum pidana bersifat sanksi akhir (ultimum remedium) yang berarti hukum pidana menjadi hukum terakhir yang digunakan bila hukum lainnya tidak dapat lagi berfungsi. “Ketentuan yang diuji semata-mata berkaitan dengan kelembagaan OJK dan bersifat rahasia. Hal ini berarti tindak pidana dalam UU OJK tidak spesifik dan memiliki tindak pidana pokok (core crime),” ujarnya menanggapi permohonan Nomor 102/PUU-XVI/2018.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hiariej melanjutkan karena tidak adanya tindak pidana pokok, maka secara mutatis mutandis keberadaan PPNS menjadi tidak relevan. Ia menegaskan bahwa hal ini berbeda dengan tindak pidana lainnya yang memiliki tindak pidana pokok yang jelas, misalnya tindak pidana perbankan yang diatur dalam UU Perbankan. “Tindak pidana perbankan memiliki tindak pidana pokok yang jelas seperti pendirian bank illegal, membocorkan rahasia bank, pemalsuan dokumen perbankan, dan lainnya,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam permohonan Nomor 102/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan oleh para dosen yang terdiri dari Yovita Arie Mangesti, Hervina Puspitosari, Bintara Sura Priambada, dan Ashinta Sekar Bidari mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 49 ayat (3) UU OJK. Pemohon mempermasalahkan wewenang penyidikan dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK tidak mengaitkan diri dengan KUHAP. Isinya menyebut PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum. Artinya, lanjut Pemohon, jika tidak dibutuhkan, maka PPNS OJK dapat melakukan penyidikan tanpa berkoordinasi ataupun meminta bantuan penegak hukum lainnya yakni penyidik Polri. Pemohon menegaskan, apabila melihat wewenang Penyidik OJK yang termuat dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK, terdapat beberapa ketentuan norma yang melanggar asas due process of law dan dapat menimbulkan kesewenangan-wenangan dari penyidik OJK.
Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menunda sidang hingga Selasa, 12 Maret 2019 pukul 11.00 WIB. Sidang tersebut untuk mendengar keterangan dua orang ahli dari Pemohon. (Lulu Anjarsari–MKRIMKRI)