DIREKSI adalah organ perseroan yang bertanggung jawab atas pengurusan perseroan, baik di dalam dan keluar pengadilan sesuai Anggaran Dasar organisasi. Berdasarkan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT bahwa pembubaran perseroan diajukan lebih dahulu oleh direksi, sedangkan pengadilan sesuai dengan kewenangannya hanya menerima alasan pembubaran dari perseroan. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat tidak terdapat kerugian konstitusional dari pemberlakukan norma a quo. Hal tersebut disampaikan Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Ninik Hariwanti dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UU PT) di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (11/10).
Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut Ninik menegaskan bahwa dalil yang dimohonkan PT Baraventura Pratama serta dua perseorangan warga negara tersebut merupakan permasalahan implementasi norma. “Hal ini karena kurangnya pemahaman terhadap norma dan keberlakuannya sehingga tidaklah tepat dilakukan pengujian undang-undang,” jelas Ninik.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal a quo tidak mencerminkan kepastian hukum, Pemerintah berpendapat para Pemohon tidak dapat menunjukkan bagian dari kerugian konstitusional yang potensial dari hal tersebut sehingga Pemerintah menilai tidak terdapat hubungan sebab akibat dari keberlakuan norma karena mengenai pembubaran perseroan dalam norma telah mendudukkan hak yang sama antara direksi, dewan komisaris, dan pemegang saham. “Bahwa pembubaran perseroan harus tetap berdasarkan alasan perseroan karena secara legalitas direksilah yang punya kewenangan itu,” jelas Ninik terhadap perkara yang teregistrasi Nomor 63/PUU-XVI/2018 ini.
Sebelumnya, Pemohon menyampaikan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perseroan yang tidak melakukan usaha selama tiga tahun atau lebih karena tidak memberikan kepastian mengenai pihak mana yang berhak untuk membuktikan kenonaktifan tersebut dengan menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi pajak. Atau hak tersebut, hanya diberikan kepada satu pihak saja atau juga diberikan kepada semua pihak seperti disebutkan dalam pasal a quo, yaitu pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris.
Dalam pandangan Pemohon, pasal a quo juga bertentangan dengan substansi dan norma yang terkandung dalam redaksi pasalnya karena berpotensi hanya memberikan keuntungan atau hak kepada satu pihak saja untuk membubarkan sebuah PT. Oleh karena itu, Pemohon meminta Majelis menyatakan norma a quo tidak konstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa surat pemberitahuan suatu perseroan terbatas tidak melakukan kegiatan usaha atau nonaktif selama 3 tahun atau lebih yang disampaikan kepada instansi, pajak, dapat disampaikan Pemohon menunggu kabar oleh direksi, pemegang saham, atau dewan komisaris dari perseroan tersebut.
Sebelum menutup sidang, Aswanto mengingatkan para Pemohon untuk menyerahkan keterangan tertulis dari tiga Ahli Pemohon selambat-lambatnya dua hari sebelum sidang berikutnya yang akan digelar pada Rabu, 24 Oktober 2018 pukul 11.00 WIB. (Sri Pujianti/LA)
Sumber : mkri.id