Baca Tulisan Sebelumnya : Pikiran Mencipta, Hati Memimpin (Buku ‘Tajir Melintir’)
ADA salah satu impian saya yang terwujud dan tak akan pernah saya lupakan, yaitu merasakan makan malam bersama Bill Gates, orang terkaya di dunia. Itu terjadi saat dia berkunjung ke indonesia, Mei 2008.
Memang, bukan pertemuan eksklusif makan berdua. Kebetulan saya diundang oleh panitia yang menyelenggarakan seminar dan pertemuan besar Bill Gates dan Presiden SBY dalam sebuah forum di Jakarta.
Baca : The Mindset (Buku ‘Tajir Melintir’)
Makan malam tersebut di Hotel Mulia, bersama 400 undangan sepesial lainnya. Sampai saat ini, kalau mengingat kesempatan itu, saya masih merasa sangat terhormat dan tak henti nya bersyukur.
Makan dan berbicara dengannya adalah impian saya sejak lama. Saya tulis di catatan harian saya dulu. Saya letakkan di dasar pikiran: makan malam dan berdiskusi dengan Bill Gates, lalu bertanya resepnya menjadi orang terkaya di dunia. Jadi, malam itu saya membuktikan kebenaran dari “kekuatan mimpi.”
Malam itu, walaupun ia duduk jauh, aura kebesarannya menguasai ruangan malam itu. Dan, bagi saya, kebersamaan malam itu sudah menggenapi impian saya.
Tentu saja, panitia tidak menyia-nyiakan kesempatan malam itu. Mereka memanfaatkan kehadiran Bill Gates dengan sebuah acara tanya jawab setelah makan malam.
Namun, karena padatnya acara maka hanya dibatasi lima pertanyaan. Kami semua yang berniat bertanya pun menuliskan pertanyaan kami di selembar kertas.
Jantung saya berdebar-debar keras. Saya sangat ingin mendapat kesempatan berkomunikasi. Saya tulis di secarik kertas pertanyaan saya dan nama saya. Dan, saya lihat semua orang melakukan hal yang sama.
Aduh, hanya lima pertanyaan? Apa pertanyaan saya bagian dari yang akan dijawab, atau terlewatkan? Saya bertanya dalam hati dengan gelisah.
“Mari dikumpulkan,” kata pembuka acara. Kemudian, panitia dan kru pun mulai mengumpulkan pertanyaan dari para undangan yang hadir. Saya meyakini dalam hati, dari puluhan pertanyaan tersebut, pasti pertanyaan saya akan dibaca dan dijawab. Saya hanya punya waktu dua detik untuk membuat orang terkesan dengan tulisan.
“Saya bisa melakukannya,” batin saya, optimistis. Masa iya, pernah belajar komunikasi tapi nggak bisa memanfaatkan keilmuan tersebut dalam hypnotic writing?
Saya telah membuat kata perkenalan yang memikat sebisanya dalam lima detik, pada secarik kertas untuk menarik perhatian Bill Gates. Saya tulis sebuah kalimat, lalu di bawahnya, saya tuliskan pertanyaan, “Why are you rich?”
Saya tutup kertas tersebut, lalu saya berikan kepada panitia yang lewat untuk mengumpulkan. Saya lihat semua kertas tersebut diserahkan kepada Bill Gates.
Santai sekali Bill Gates malam itu. Dengan kemeja batik, wajah dan penampilannya bersahaja. Siapa yang sangka kekayaannya sama dengan APBN nasional Indonesia untuk menghidupi pemerintahan selama satu tahun dengan 250 juta penduduk?
Perlahan-lahan, satu persatu lembar pertanian tersebut dibuka dan dilihat sekilas. Saya terus memperhatikannya. Semua dibacanya kurang dari satu detik mungkin.
Satu kertas di kesampingkan, kertas berikutnya diseleksi lagi. Semua kegiatannya saya perhatikan dan saya tiru dalam gerak kecil. Dalam pikiran saya, saya gambarkan dia terhenti pada pertanyaan saya dan menjawab.
Mendadak, konsentrasi saya pecah dengan sebuah suara. Suara Bill Gates menggema di seluruh ruangan, menyapa kami semua dan mengucapkan terima kasih atas momen ini. Sebuah ketulusan mendalam terasa dari nadanya.
Wah, kagum saya dengan intonasi tersebut. Dalam, dewasa, tulus, sebuah intonasi yang tidak bisa dibuat-buat. Itu sudah karakter.
Pertanyaan pertama dijawabnya, tentang kemungkinan berbisnis di Indonesia. Ini pertanyaan dari seorang petinggi BUMN. Terlihat senyum bangga karena pertanyaannya dijawab Mr. Gates. “Ya, saya akan berinvestasi di Indonesia,” jawab Bill Gates dengan lugas dan inspiratif.
Pertanyaan kedua, tentang apa rencana Microsoft ke depan. Pertanyaan ini berasal dari kolumnis teknologi koran terkemuka di ibukota dan nasional. Ia adalah seorang pria sederhana dengan jenggot di sekeliling wajahnya. Semua orang mengenalnya. Sangat terkenal figur kolumnis ini.
“Okay, now for the third question,” Bill Gates berkata, “This is a very awkward statement. I read it four or five times, and it’s making me uncomfortable.” Intinya, pertanyaan tersebut membuatnya gundah dan sangat dalam juga. Sebenarnya tidak ingin dia jawab, tetapi ini adalah pondasi hidup Bill Gates yang terusik. Mungkin dunia belum mengetahuinya. Mungkin dunia tidak perlu memgetahuinya.
Jeda sangat lama sebelum Bill Gates melanjutkan pembicaraannya, sehingga ruangan menjadi hening. Bahkan, ibaratnya tegukan air di leher seseorang yang sedang minum pun akan terdengar jelas.
“Who is Mardigu Wowiek?” Suara Mr. Gates mengeja lambat sebuah nama. Wah, nama saya disebut Bill Gates. Meledak jantung saya, berdebar keras hingga mungkin seluruh angan mendengarnya. Dag dig dug!
“Yes Mr. Gates. I’m here,” sahut saya dengan nada suara setengah tercekat. Seorang mic runner menghampiri setelah tangan saya terangkat tinggi.
Wah, seluruh mata tertuju kepada saya. Tubuh saya menciut seakan susut 50% mengecil. Saya mengatur napas yang tidak teratur, saya rasa semua orang memperhatikan tingkah saya itu. Dalam hati saya merasa bersalah telah bertanya membuat Bill Gates kikuk. Tapi, strategi saya berhasil. Setidaknya surat saya diperhatikan.
“Your statement makes me uncomfortable,” ulangnya. “I don’t think the world is ready yet, not even myself,” lanjutnya. Matanya menatap tajam ke arah saya. Dan, kali ini gantian saya yang merasa tidak nyaman.
Beberapa orang dibarisan depan bertanya-tanya. Suara gumaman mereka terdengar. What was the question? Apa sih, statement yang bisa membuat Bill Gates kikuk?
“Well,” suara Bill Gates kembali menggema. Kemudian ia menatap kertas yang saya tulis sekali lagi. Lalu, sambil menghadap ke audiens dan tersenyum kecil, dia berkata, “This gentlemen …” matanya terarah kepada saya, “This gentlemen made a statement the strikes my mind. I could never imagine that someone in the world could write this kind of statement to me.”
Saya terduduk sambil menahan malu.
Kembali dia menarik napas. Seseorang yang dibaris depan bertanya, “What was it, Sir?” Orang lain bersuara, “Spill it out!” Dan, banyak suara lainnya yang intinya meminta Mr. Gates untuk ceritakan saja isi surat saya.
“Well, all right. This is what he wrote,” lalu Bill Gates membacakan tulisan saya, “You could never be like Andrew Carnegie!” And really, this statement made me feel very awkward! Ruangan kembali sunyi. “And you know, I guess he is right. I could never be like Andrew Carnegie!”
Semua orang terdiam dan memperhatikan gerakannya di depan sembari duduk setengah berdiri. Kemudian, tangan kanan Bill Gates bergerak ke belakang dan memiringkan sedikit badannya, lalu mengambil dompet dari sakunya.
Dia mencari sesuatu di belahan dompetnya, lalu dia ambil secarik kertas. Dari kejauhan ternyata dia perlihatkan foto dari dalam dompetnya.
Semua orang berusaha melihat dengan jelas gambar kecil tersebut. Ada yang maju ke depan, ada yang memicingkan mata, termasuk saya. Namun, foto itu hanya samar-samar karena dari kejauhan.
Lalu Bill Gates berkata, “This is the picture of Andrew Carnegie. He is my idol. I adore him and honour him.” Kemudian ia bercerita bahwa Carnegie adalah orang yang dia tiru, yang kiprahnya dia kagumi.
Dan, dia heran mengapa saya bisa tahu hal ini. Karena sebenarnya, hanya dia dan istrinya yang tahu. Karena itu, dia letakkan dalam dompetnya orang yang dia kagumi tersebut, sebagai pengingat.
Saya tersenyum bangga ke-ge-eran dengan diri sendiri. Ilham dari langit ternyata bulls eye! Tepat di sasaran. Membuat tulisan yang menyentuh emosi. Membuat pembukaan yang fascinating.
Awalnya, saya berniat menulis pernyataan itu hanya sebagai kalimat sindiran yang intinya mengutarakan bahwa dia itu bukan siapa-siapa. Saya hanya berjudi, kira-kira siapa yang lebih lebih dari dia. Dan, pilihan saya tidak banyak.
Mau menyebut Warren Bufet, dia teman main kartu bridge Bill Gates. Bisa malu, malahan. Maka, terbersitlah nama Andrew Carnegie sebagai satu-satunya pilihan saya. Saya tidak menyangka ternyata Big Strike! Lebih dari yang saya harapkan.
Bill Gates bercerita singkat mengapa Carnegie menjadi idolanya, lalu dia menjawab pertanyaan saya, mengapa Bill Gates bisa kaya. Kalau Bill dan Melinda Gates Foundation pernah menyumbang hampir senilai 18 miliar USD, Andrew Carnegie adalah seorang filantropis yang memberikan donasi lebih dari 220 miliar USD hingga saat ini.
Dengan kata lain Bill Gates baru 10% alias nggak ada apa-apanya. Ketika The Fed (Federal Reserve System, Bank Sentral Amerika Serikat) memerlukan cash, Andrew Carnegie beberapa kali menyelamatkan keuangan negaranya.
Bahkan pada saat Filipina merdeka atas Spanyol. Spanyol menuntut bayaran senilai 20 miliar USD di tahun 1898. Andrew Carnegie merupakan salah seorang yang turun tangan bersama The Fed.
Ada cerita beredar bahwa kemerdekaan Filipina dibantu Andrew Carnegie melalui The Fed. Namun, sampai akhir hayatnya, Carnegie tidak pernah mengenal dan menginjak tanah Filipina, negara yang dibantunya.
Anda akan menjumpai Andrew Carnegie Museum di berbagai negara di dunia. Museum ini didirikan untuk menjaga sejarah dan pendidikan, serta masih banyak lagi cerita kiprah donasi donasinya.
Baca Juga : Menyetel Prosperity Conscious (Buku ‘Tajir Melintir’)
Akhir semua cerita tadi, momen itu saya anggap sangat spesial. Bagi sebagian orang mungkin tidak berarti banyak karena buktinya setelah pertanyaan tersebut, cerita berlanjut lain lagi. Mungkin orang-orang sudah lupa dengan pertanyaan saya. Namun, bagi saya, waktu seakan berhenti, berjalan pelan.
Karena itulah saya tidak lagi memperhatikan pertanyaan keempat, kelima, maupun diskusi yang berlangsung setelahnya. Fokus saya adalah pada idolanya Bill Gates. Hari itu, saya merasa tersanjung dan berpikir, Bill Gates saja punya Dream Book, punya impian, punya compeling reason. Jadi saya harus set target terus. Nggak salah di dompet saya ada foto Bill Gates yang sekarang saya tambah dengan foto seorang Andrew Carnegie.
Sumber : Buku ‘TAJIR MELINTIR’
Karya : Mardigu Wowiek Prasantyo
Baca Tulisan Berikutnya : Servomecanism (Buku ‘Tajir Melintir’)