JAKARTA – Peran DPR dalam menyetujui penyusunan sebuah perjanjian internasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional) digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah LSM dan perseorangan tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 tersebut. Pemohon, yakni Indonesia For Global Justice (IGJ), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Serikat Petani, Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa), Aliansi Petani Indonesia (API), Solidaritas Perempuan (SP), Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), serta empat Pemohon perseorangan.
Dalam permohonannya, Pemohon menilai Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merugikan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh UUD 1945. Ketiga norma tersebut mengatur mengenai peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Pemohon menilai bahwa seluruh ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Peran DPR untuk menyetujui sebuah perjanjian internasional dianggap tereduksi dengan berlakunya Pasal 2 UU Perjanjian Internasional. Hal tersebut karena pasal a quo telah mengganti frasa “dengan persetujuan DPR” dengan frasa “berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik”. Lebih lanjut dalam permohonannya, Pemohon yang diwakili Henry David Oliver Sitorus, menyatakan bahwa persetujuan oleh DPR terhadap pembuatan perjanjian internasional menjadi sangat penting karena membuat perjanjian internasional berarti negara telah memberikan sebagian kedaulatannya. Apalagi terhadap perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat.
“Karena itu, persetujuan oleh DPR sebagai perwujudan kedaulatan rakyat menjadi sangat penting. Apalagi terkait dengan perjanjian internasional yang memiliki akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. Kata “pengesahan” mereduksi kata “persetujuan” dengan DPR sehingga menempatkan DPR di bagian akhir penyusunan perjanjian Internasional dengan hanya berperan mengesahkan perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Dengan ini, Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang a quo bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945,” jelas Oliver dalam sidang yang digelar pada Senin (5/3) tersebut.
Selain itu, Pemohon juga menilai Pasal 10 UU Perjanjian Internasional, telah memberikan pembatasan (limitasi) jenis perjanjian internasional yang harus disahkan melalui UU. Dengan demikian, untuk materi perjanjian internasional di luar ketentuan Pasal 10 UU a quo harus disahkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (keputusan presiden). Oliver melanjutkan, terkait Pasal 11 ayat (1) beserta penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU Perjanjian Internasional merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari Pasal 10 UU a quo. Maka, pasal a quo juga dinilai bertentangan dengan Konstitusi.
Perjelas Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta agar kedudukan hukum Pemohon diperjelas seperti pemohon perseorangan maupun LSM. “Apakah para Pemohon yang merupakan LSM ini sedang melakukan advokasi dan pendampingan kepada para Pemohon perseorangan dalam konteks perdagangan garam tadi itu, misalnya. Atau ada konteks lebih luas lagi bahwa prosedur ratifikasi perjanjian internasional itu bermasalah,” tegasnya.
Sedangkan Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta Pemohon mempertajam alasan-alasan mengajukan permohonan. Ia juga meminta Pemohon mempertajam kerugian konstitusional yang dialami. (ARS/LA–MK)