JAKARTA – Dalam operasional usaha, BUMN belum memperhatikan kesejahteraan rakyat karena tujuan dari pendiriannya adalah mengejar keuntungan. Frasa yang ada pada Pasal 2 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 4 ayat (4) UU BUMN mengisyaratkan BUMN mengutamakan mencari keuntungan. Hal tersebut disampaikan Bernaulus Saragih selaku ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rabu (18/4).
Lebih lanjut, pakar manajemen kehutanan Universitas Mulawarman Banjarmasin tersebut, menjabarkan bahwa apabila ditinjau dari aspek pemeliharaan lingkungan, BUMN adalah mesin pemerintah menjadi alat pemiskinan masyarakat yang ada di daerah pengelola dan penghasil sumber daya alam seperti migas, barubara, hutan, dan lainnya. Atas hal tersebut, Bernaulus pun mempertanyakan hak yang salah pada BUMN di Indonesia. “Ada yang salah dengan BUMN kita? Ya, mulai dari tujuan dan pengawasannya itu telah salah sehingga BUMN cenderung ekploitatif,” jelas Bernaulus di hadapan sidnag yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagai contoh, Bernaulus memaparkan 17 daerah di Indonesia dengan potensi minyak dan gas (migas) terbesar, 11 daerah menyatakan BUMN sebagai pengisap kekayaan alam di Indonesia karena peran dan fungsinya belum banyak manfaatnya. Contoh lainnya adalah Kalimantan Timur yang merupakan daerah penghasil migas, disinyalir akan kehabisan minyak pada 2024. “Sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sangat disayangkan sekali SDA itu abis sehingga kita akan kehilangan SDA tersebut bagi penerus bangsa,” jelas Bernaulus.
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Terhadap perkara nomor 14/PUU-XVI/2018, Guru Besar Fakultas Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Koerniatmanto Soetoprawiro memberikan pandangan dengan penekanan pada makna pasal dan maksud serta tujuan didirikannya BUMN. Menurut Koerniatmanto, berpedoman pada Pasal 23C UUD 1945 dan Putusan MK 48/PUU-XI/2013, berpandangan BUMN yang masuk pada subbidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. “Pada prinsipnya, pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan tersebut termasuk di dalamnya BUMN harus diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, frasa yang diatur dengan peraturan pemerintah pada Pasal 4 ayat (4) UU BUMN bertentangan dengan maksud Pasal 23C UUD 1945,” jelas Koerniatmanto selaku ahli Pemohon.
Sebelumnya, Albertus Magnus Putut Prabantoro dkk selaku Pemohon mendalilkan kedua pasal tersebut merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Pemohon menyatakan keberadaan pasal-pasal tersebut telah diselewengkan secara normatif dan menyebabkan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Persero. Dalam PP yang juga dikenal dengan PP Holding BUMN Tambang tersebut, terdapat tiga BUMN yang dialihkan sahamnya kepada PT Indonesia Asahan Aluminium Persero (Inalum).Adapun tiga BUMN yang dimaksud yakni Perusahaan Perseroan (Persero) PT Aneka Tambang Tbk, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Timah Tbk, serta Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bukit Asam Tbk.
Selain itu, Pemohon menilai implimentasi dari Pasal 4 ayat (4) UU BUMN tersebut juga telah menunjukkan akibat dari penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN lainnya. Melalui ketentuan initelah menghilangkan BUMN dan dapat dikategorikan sebagai privatisasi model baru karena adanya transformasi bentuk BUMN menjadi anak perusahaan BUMN tanpa melalui mekanisme APBN dan persetujuan DPR RI. (Sri Pujianti/LA–MK)