JAKARTA – Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya akan fokus pada tiga aspek untuk mendukung perbaikan kualitas kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) Indonesia yang lebih baik.
Ditemui di kompleks Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin, Budi Karya mengatakan tiga aspek tersebut adalah tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pelayanan pengiriman pesanan secara elektronik (delivery order online/DO), dan waktu bongkar muat.
Terkait tarif, Budi Karya mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan untuk mengurangi tarif PNBP dari jasa transportasi laut yang berlaku pada Kementerian Perhubungan.
“Kami sepakat untuk menurunkan tarif tersebut, baik itu yang menjadi pemasukan korporasi maupun PNBP, sehingga angka-angka itu akan menjadi kompetitif,” ucap dia.
Penurunan tarif PNBP tersebut, lanjut dia, bertujuan untuk mendukung kualitas kemudahan berusaha Indonesia menjadi lebih baik.
“Saya harus lapor dulu ke Kementerian Keuangan untuk turunkan itu. Dengan PNBP turun, setelah itu diharapkan volumenya naik. Kemenko Perekonomian pada prinsipnya setuju, intinya kami akan menurunkan PNBP,” ucap Budi Karya.
Ia mengungkapkan penerapan penurunan tarif PNBP yang berlaku pada Kemenhub tersebut akan diberlakukan pada tahun ini.
Selain masalah tarif, Kementerian Perhubungan juga menyoroti masalah pelayanan pengiriman pesanan secara elektronik (DO Online) untuk barang impor di pelabuhan dan waktu bongkar muat.
“DO Online akan menjadi efektif atau dirasakan menjadi kemudahan kalau itu ada. Sekarang sudah ada yang kami buat dan sudah dimanfaatkan oleh beberapa ‘shipping line’, tinggal melakukannya lebih banyak,” tutur Budi Karya.
DO Online adalah surat bukti penyerahan barang yang dikeluarkan perusahaan angkutan laut atau kuasanya kepada pemilik barang yang merupakan suatu bukti pengiriman barang.
Mengenai waktu bongkar muat, Kemenhub sudah menyampaikan laporan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution untuk berkolaborasi dengan tim dari Kemenko Perekonomian dan Bea Cukai.
“Pada saat sudah menentukan ‘dwelling time’ tiga hari, ada 30-40 persen barang-barang itu masih di pelabuhan dengan berbagai motif. Sebagian besar adalah belum selesai karena pemeriksaan, tapi ada yang karena pemiliknya tidak ada gudang dan pembelinya,” ungkap Budi Karya. (ant)