JAKARTA – Sejumlah kalangan mulai dari anggota aktif KPU, Panwas, dan aktivis ormas serta perseorangan warga negara mengajukan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (16/4) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon perkara yang teregistrasi Nomor 31/PUU-XVI/2018 ini terdiri atas Erik Fitriadi (Pemohon I) dan Miftah Farid (Pemohon II) yang berprofesi sebagai anggota KPU Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bogor; A. Wahab Suneth yang merupakan Ketua Bidang Keanggotaan dan Perkaderan Pimpinan Pusat/Laznah Tanfidziyah Syariat Islam (Pemohon III); Iwan Setiyono dan Akbar Khadafi yang berprofesi sebagai Anggota Panwaslih Kab. Bekasi Tahun 2017 (Pemohon IV dan V); Turki dan Mu’amar yang berprofesi sebagai karyawan swasta (Pemohon VI, VII); dan Habloel Mawadi yang berprofesi sebagai dosen (Pemohon VIII).
Dalam permohonannya, para Pemohon mempersoalkan sebanyak sebelas pasal yang tercantum dalam UU Pemilu. Pasal-pasal a quo, yakni Pasal 10 ayat (1) huruf c; Pasal 21 ayat (1) huruf k; Pasal 44; Pasal 52 ayat (1); Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m, dan huruf o; Pasal 286 ayat (2); Pasal 468 ayat (2); dan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu.
Heru Widodo selaku kuasa hukum para Pemohon mendalilkan Pasal 10 ayat (1) huruf c UU Pemilu yang menetapkan jumlah 3 (tiga) atau 5 (lima) orang anggota KPU Kabupaten/kota serta jumlah 3 (tiga) orang anggota PPK tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut karena aturan tersebut tidak mempertimbangkan faktor perbedaan dan keragaman alam geografis Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian Tengah dan Timur, yang terdiri dari ribuan pulau dan pegunungan dengan tingkat kesulitan daya jangkau yang beragam, ada daerah pemilihan yang bergantung pada cuaca, ada yang tidak dapat ditempuh melalui jalan darat, serta masih ada pula daerah pemilihan yang hanya bisa ditempuh melalui jalan kaki.
Heru menjelaskan aturan a quo menyatakan jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota didasarkan pada perhitungan dengan rumus jumlah penduduk ditambah hasil kali antara luas wilayah dan jumlah kecamatan. Kabupaten/Kota dengan hasil perhitungan sama dengan atau lebih dari 500 ribu, jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sebanyak 5 orang. Adapun untuk Kabupaten/Kota dengan hasil perhitungan kurang dari 500 ribu orang, jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota sebanyak 3 orang. Dengan demikian, keanggotaan KPU Kabupaten/Kota terjadi pengurangan diwilayah-wilayah tertentu yang perhitungannya kurang dari 500 ribu. Atas dasar hal tersebut, jelas Heru, terlihat tugas dan wewenang yang diemban KPU Kabupaten/Kota tersebut cukup berat untuk dilaksanakan. “Oleh karena itu, tidaklah beralasan jika apabila jumlah anggota KPU Kabupaten/Kota dikurangi dengan mendasarkan pada jumlah penghitungan suara dari setiap daerah,” jelas Heru di hadapan sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto.
Di samping itu, tambah Heru, selain berpotensi beban kinerja menjadi berat tentunya akan berimplikasi terhadap terganggunya asas pelaksanaan pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 juga tidak mampu menjamin pelaksanaan pemilu sesuai prinsip mandiri, jujur, adil, dan berkepastian hukum. Berkaitan dengan jumlah anggota PPK/PPD menjadi hanya 3 orang dalam Pasal 52 ayat (1) UU Pemilu tersebut, Heru menyampaikan dari hal tersebut tampak pembuat undang-undang mengalami inkonsistensi dengan tujuan politik hukum. Sebagaimana penjelasan UU Pemilu yang menyatakan kelembagaan yang melaksanakan pemilu meliputi KPU, Bawaslu, dan DKPP, yang kedudukan serta tugas dan fungsinya diperkuat dan diperjelas serta disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
Batas Usia
Berikutnya, Andy Ryza Fardiansyah yang juga merupakan kuasa hukum para Pemohon lainnya menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf b, huruf m, dan huruf O UU Pemilu yang menyatakan adanya batasan syarat usia calon anggota Panwaslu Kecamatan, Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS dibedakan dengan syarat usia calon anggota PPK, PPS, KPPS bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Menurut para Pemohon, setiap warga negara yang memenuhi kualifikasi untuk memiliki hak pilih juga memilki hak untuk turut serta menjadi panitia penyelenggara pemilu.
Namun, Pasal 117 ayat (1) huruf b UU Pemilu sepanjang frasa “berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun untuk calon naggota Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Kelurahan/Desa, dan Pengawas TPS” telah mereduksi hak warga negara yang berumur 17 – 24 tahun untuk turut serta menjadi penyelenggara pemilu. “Padahal warga negara yang berumur 17 – 24 tahun telah memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk menyelenggraan kepemiluan,” jelas Fardiansyah.
Sifat Tetap Panwas
Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum diselengggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Menurut para Pemohon, sifat “tetap” Bawaslu adalah Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota adalah satu kesatuan yang tetap dan setiap jenjangnya memiliki kedudukan yang setara.
Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana Pasal 557 ayat (1) huruf b UU Pemilu cenderung mengesankan adanya diferensiasi antara Panwas di Aceh dengan Panwas di daerah lain. “Dengan demikian, pasal a quo perlu penafsiran dari Mahkamah untuk menegaskan adanya persamaan kedudukan dan status Pengawas Pemilu di Aceh dengan daerah lain mengingat Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota lembaga pengawas pemilu yang bersifat tetap,” urai Fardiansyah.
Musyawarah dengan KPU RI
Mencermati banyaknya Pemohon Perkara 31 yang mengajukan uji UU Pemilu yang salah satunya adalah pihak penyelenggara pemilu yang ada di tingkat Kabupaten/Kota, Hakim Konstitusi Saldi mempertanyakan jika para Pemohon telah melakukan musyawarah dengan KPU RI. Hal ini mengingat secara hierarki penyelenggara pemilu terdiri atas KPU, Bawaslu, dan DKPP. “Apakah secara organisasi, KPU Kabupaten/Kota tidak perlu izin pada KPU RI? Khawatirnya, nanti malah KPU RI yang digugat,” jelas Saldi.
Sejalan dengan hal ini, Saldi menyarankan juga bahwa pasal a quo merupakan aturan yang telah lama menjadi perdebatan, terutama yang berkaitan dengan pengurangan anggota KPU berdasarkan jumlah penduduk. Untuk itu, Saldi menyarankan Pemohon mengikutsertakan KPU RI. “Mengapa tidak ditarik KPU RI untuk jadi Pemohon karena jauh lebih terganggu KPU RI jika tangan-tangannya dirugikan,” saran Saldi.
Pada akhir persidangan, Wakil MK Aswanto menyampaikan para Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya menyerahkan perbaikan permohonan hingga Senin, 30 April 2018 pukul 10.00 WIB, untuk kemudian dapat diagendakan sidang berikutnya. (Sri Pujianti/LA–MK)