JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Selasa (24/4). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 33/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Martinus Butarbutar dan Risof Mario.
Pemohon menguji Pasal 169, Pasal 227, Pasal 229 UU Pemilu yang dianggap merugikan hak-hak konstitusional Pemohon karena tidak menyertakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam penentuan Calon Presiden (Capres) dan Wakil Presiden (Wapres). Kerugian konstitusionalnya adalah menjadi hilangnya jati diri bangsa Indonesia beserta masyarakat budaya dan tradisional sebagaimana dimuat dalam UUD 1945.
Dalam permohonannya para Pemohon mendalilkan bila sejarah telah memberikan hak konstitusional dari seluruh rakyat, yaitu orang bangsa Indonesia asli dan diakui dalam UUD 1945, melalui utusan daerah yang kemudian bermetamorfosa menjadi DPD.
“Undang-Undang Pemilu telah merugikan hak konstitusional kami. Dalam persyaratan calon presiden dan wakil presiden, hal tersebut telah melanggar dan tidak sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang mensyaratkan Konstitusi terjadi oleh sebuah perjuangan panjang, perlawanan, dan perang dari masyarakat Indonesia yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 patut kita yakini sebagai masyarakat orang Indonesia asli,” papar Martinus Butarbutar.
Hal demikian, menurut Pemohon, mengesampingkan hak orang-orang bangsa Indonesia asli dalam menentukan pemimpin bangsa, karena tidak mengakomodir kedudukan konstitusional orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UUD 1945 yang mengakui sejarah berdirinya negara Indonesia oleh orang-orang Indonesia asli.
Pemohon memberikan contoh, salah satunya adalah Singapura yang tidak lagi memberikan batasan apapun tentang pemimpin negaranya, menjadi kehilangan jati diri. “Yang kita tahu bahwa Singapura itu adalah sebuah negara Melayu awalnya, tetapi sekarang tidak ada lagi kedaulatan Melayu dalam negara Singapura. Permohonan kami ini adalah dasarnya kekhawatiran kami tentang negara ini. Jika Undang-Undang Pemilu hanya memberikan syarat seperti itu, maka siapa pun bisa menjadi Presiden bukan berdasarkan kedaulatan rakyat. Tetapi berdasarkan kedaulatan partai politik. Itu yang menjadi keberatan kami dalam Undang-Undang Pemilu dengan persyaratan yang ditentukan,” dalih Martinus.
Perbaikan Permohonan
Terhadap dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyoroti dalil Pemohon yang dinilainya tidak sesuai dengan maksud Pemohon untuk memasukkan anggota DPD sebagai bagian yang dapat mengajukan calon presiden. Pemohon dinilainya telah keliru dengan meminta pembatalan ketiga pasal yang diujikan. “Jika dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bagaimana? Jadi, orang mau mencalonkan presiden atau wakil presiden tidak ada pedoman dan syaratnya,” jelasnya.
Suhartoyo mengarahkan agar Pemohon lebih menguraikan latar belakang permohonan yang sebenarnya menginginkan DPD juga dapat mengajukan calon presiden/wakil presiden seperti halnya DPR.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan Pemohon agar lebih menjelaskan identitas para pihak. “Juga yang paling penting itu legal standing, Pak. Jadi dijelaskan alasan konstitusional apa sehingga Bapak mengajukan permohonan ini,” ujar Saldi selaku pimpinan sidang.
Selanjutnya, Saldi menilai adanya inkonsistensi antara dalil dengan petitum permohonan. Untuk itu, lanjut Saldi, Pemohon diminta menguraikan keterkaitan antara dalil dengan petitum. “Kalau posita tidak nyambung dengan petitum dan permohonan dianggap kabur,” tandas Saldi. (Nano Tresna Arfana/LA–MK)