Partai Garuda Uji Aturan Ambang Batas Parlemen

Hukum21 Dilihat
banner 468x60

JAKARTA – Aturan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) kembali diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (14/3). Kali ini, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) yang menjadi peserta Pemilu 2019 tercatat sebagai Pemohon perkara Nomor 20/PUU-XVI/2018 tersebut.

M. Maulana Bungaran selaku kuasa hukum Partai Garuda, menjelaskan Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 414 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Pasal 414 Ayat 1 UU Pemilu menyatakan, “Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit empat persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”

banner 336x280

Pemohon menilai dengan berlakunya Pasal 414 Ayat 1 UU Pemilu dapat mengakibatkan hilangnya hak untuk mendapatkan kursi di tingkatan DPR RI. Terutama, lanjut Maulana, jika perolehan suara Pemohon di Daerah Pemilihan tertentu memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi DPR RI, namun perolehan suara Pemohon tingkat DPR RI secara keseluruhan tidak memenuhi ambang batas parlemen.

Maulana pun menjelaskan berdasarkan ketentuan Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945, setiap partai politik peserta Pemilihan Umum 2019 termasuk Pemohon memiliki hak untuk berkontestasi memperebutkan kursi DPR RI. Namun hak untuk berkontestasi akan hilang jika perolehan suara Pemohon secara nasional tidak memenuhi ambang batas perolehan suara. Hal demikian dapat terjadi meski perolehan suara Pemohon di daerah pemilihan tertentu memenuhi syarat untuk mendapatkan kursi DPR RI.

Selain itu, Maulana menerangkan konsep penyederhanaan partai politik tidak dapat dilakukan dengan membabi buta, melainkan harus dilaksanakan dalam bingkai keadilan. Artinya, lanjutnya, jangan sampai konsep penyederhanaan partai politik menimbulkan kondisi tidak adil bagi siapapun.

“Jika diinginkan jumlah partai politik lebih sederhana, maka seharusnya sejak awal syarat ikut sertanya partai politik dalam pemilihan umum yang diperberat, jangan partai politik yang sudah susah payah ikut pemilu kemudian dipangkas dan diberangus haknya untuk mendapatkan kursi DPR. Jadi, tidak timbul kerugian bagi partai politik. Bahwa adalah sangat wajar persyaratan partai politik untuk ikut pemilu diperberat. Namun ketika partai politik sudah ditetapkan untuk ikut pemilu, maka dia berhak berkontestasi dalam setiap tingkatan legislatif,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Aswanto tersebut.

Untuk itulah, Partai Garuda memohon kepada Mahkamah agar keberlakuan Pasal 414 Ayat 1 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Perbaikan Permohonan

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta agar Pemohon menguraikan dalil permohonannya terkait esensi persentase ambang batas parlemen. Ia menyarankan agar Pemohon lebih menjelaskan jumlah ambang batas yang sesuai konstitusi.

“Karena argumen Anda mestinya juga harus bisa membantah apa sih sebenarnya esensi daripada harus ada persentase itu? Yang diputuskan oleh para wakil rakyat kita yang partainya sudah eksis lebih dahulu itu. Itu paling tidak mesti ada argumentasi untuk membantah itu. Kemudian yang kedua, argumentasi barangkali soal jumlah. Jumlah persentasenya yang mungkin menurut Anda terlalu besar atau sebaiknya tidak ada sama sekali. Karena kalau kita ikuti perkembangan persentase ini setiap pemilu berubah-ubah,” sarannya.

Sementara Hakim Konstitusi Aswanto meminta agar Pemohon melihat kembali putusan-putusan MK terkait uji materiil ambang batas sebagai referensi permohonan. Ia mengingatkan jika perkara serupa sudah pernah diputus di MK sebanyak dua kali. Dalam dua putusan tersebut, MK menyatakan bahwa ambang batas parlemen sesuai dengan UUD 1945.

“Mahkamah sudah mengatakan bahwa bukan persoalan konstitusional. Tetapi kalau Saudara mampu mengemukakan dalil-dalil dan argumen-argumen bahkan mungkin didukung oleh teori, bisa saja Mahkamah mengubah pandangan karena Mahkamah secara prinsip bisa mengubah putusan ketika ada landasan teori atau pertimbangan yang sangat kuat untuk terjadinya perubahan putusan itu,” tandas Aswanto. (ARS/LA–MK)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *