Baca Tulisan Sebelumnya : Pengulangan Marupakan Keunggulan (Buku ‘Sadar Kaya’)
DALAM pemrograman pikiran bawah sadar, ada satu kunci yang harus dipahami dalam cara otak bekerja. Software pikiran itu hanya mengenal kalimat “sekarang” atau “present tense”. Otak kecil manusia yang di belahan dalam, amigdala yang membuat pemrograman, tidak mengenal kata “akan”, “seandainya” : “mudah-mudahan”, “nanti’; dan sejenisnya.
Yang mereka kenal adalah kekinian. Jadi, kerjakan apa pun sekarang, seakan Anda sudah memiliki. Saya ulangi. Apa pun yang Anda percayai dan inginkan dalam pikiran, Anda ulangi berkali-kali bahwa Anda sudah di sana dan sudah memilikinya.
Baca : Kekuatan Untuk Melepaskan (Buku ‘Sadar Kaya’)
Pilihan kaya cepat dengan kaya perlahan memiliki cara memulai yang berbeda. Cara memulai menentukan kemakmuran Anda. Kemakmuran merupakan skill yang harus dipraktikkan dengan pengalaman. Dikumpulkan jam terbangnya.
Seperti keterampilan berenang. Belajar tahap awalnya adalah dengan menceburkan diri ke air. Lalu belajar mengambang. Itu dulu, kepala di atas air.
Gerakannya? Sembarang. Pokoknya kepala di atas air. Dan, untuk masuk ke air, Anda hanya membutuhkan 1 modal : berani!
Dalam bisnis, modal pertama juga berani, bukan uang. Jadi, kalau Anda mengatakan saya tidak ada uang buat modal, Anda memiliki poverty consciousness! Kesadaran miskin! Sepertinya akan banyak yang tidak terima dengan kalimat saya ini, tetapi itu adalah fakta.
Sekali lagi saya ulangi, kesadaran miskin akan mengatakan, “Saya tidak punya uang sebagai modal”. Kata-kata “tidak punya uang” adalah kesadaran miskin, dan ini fakta. Anda bungkus dengan “belum punya uang” juga sama. Anda menunda hingga waktu yang tidak pernah tiba.
Dan, saya punya pengalaman untuk itu.
Sebagaimana sahabat ketahui, saya memiliki banyak sahabat yang secara financial masuk ke komunitas manusia 1%. Mereka adalah kalangan “the have”. Mereka berada di puncak mata rantai makanan.
Bayangkan, di antara semua isi bumi beserta makhluknya, umat manusia berada dijajaran puncak. Nah, orang-orang ini artinya berada dipuncaknya puncak.
Mereka memiliki kekayaan pribadi dan networth kekayaan jaringan yang sangat besar, triliunan. Dan, pertemanan saya dengan mereka sudah lebih dari 15-20 tahun. Sebagai catatan, kenalan dan teman nongkrong dua hal berbeda, ya.
Saya mungkin punya ribuan kenalan, tetapi teman nongkrong sangat sedikit. Mungkin karena pada dasarnya saya introvert, saya harus mengizinkan diri saya dulu untuk menerima mereka menjadi sahabat dan teman nongkrong.
Saya jelaskan lagi, teman-teman saya yang miliuner ini adalah teman nongkrong. Lebih dari sekadar kenalan. Selama 5 tahun ini kami selalu bertemu di daerah Kuningan, memanfaatkan corner of the house, sudut hotel bintang lima tempat kami berkumpul. Sebulan sekali setidaknya saya bertemu mereka.
Dari mulut mereka, kita bisa mendengar deal awal membeli klub sepak bola papan atas Liga Eropa; transaksi terbesar perusahaan batubara di lndonesia; perdebatan melawan pebisnis Yahudi berbasis London –Rothschild- yang akan masuk ke Indonesia; pembelian participant interest beberapa daerah untuk membantu perusda (perusahaan daerah); megaproyek copper dan nickel smelter; transaksi kepemilikan world chain hotel W; dan banyak lagi transaksi kelas dunia terjadi di depan mata.
Termasuk hal-hal yang bersifat pribadi, seperti mengganti private Jet ke Bombardier, dari 2 engine ke 4 engine, yang tujuannya kalau Jakarta-Beijing, Jakarta-Dubai, Hongkong-Hawaii, tidak perlu isi bahan bakar di tengahnya. Ada juga yang mengganti Azimuth Yacht dari 89 yard ke 150 yard. Ini percakapan biasa, seperti kita membeli indomie di Alfamart.
Yang saya mau ceritakan adalah, hubungan pertemuan saya dengan mereka sempat terputus sejak 2003 hingga 2010. Saya tidak sempat ada waktu bertemu dengan mereka dan entah bagaimana, mereka juga seperti ada cara untuk tidak bertemu saya.
Bukan dengan sengaja, ya. Maksudnya seperti ada yang mengatur saja, semuanya sibuk. Saya tidak bertemu, tetapi mereka tetap saja bertemu satu sama lain dan berbisnis. Saya tidak keduanya.
Hingga suatu hari di tahun 2010, saya kena serangan asam urat yang membuat saya tidak bisa berjalan selama beberapa hari. Selama 1 bulan, saya menjalani penyembuhan agar masalah tersebut tuntas dan tidak kembali lagi. Karena income saya datang melalui active income, praktis selama bulan itu saya tidak punya penghasilan.
Perusahaan yang saya bangun, semua sedang dalam masa tanam, belum ada yang bisa dipanen. Lalu, saya ingat istri saya berkata, “Ayah, kenapa nggak nongkrong lagi sama teman-teman lama?”
Lalu dia sebutlah beberapa nama pebisnis sahabat saya yang namanya sering ditulis di media – dan beberapa nama yang lebih muda dan lebih sukses, tetapi tidak pernah di ekspos media.
Saya langsung setuju, Saya ingat sekali kala itu Juli 2010. Saya kena asam urat di April 2010. Akhirnya saya bertemu mereka, dan langsung dihujani berbagai komentar.
“Ke mane aje, BOS?”
“Sudah banyak cuan ya, banyak fulus? Lupa teman, nih?
Dan macam-macam gurauan lain yang intinya mengingatkan saya, jangan lakukan itu lagi, tidak silaturahmi.
Selama ngobrol ngalor-ngidul, saya ada merasa janggal. Kok, saya merasa nggak pas di situ. Setelah 2 jam disana dan saya masih merasa nggak “masuk” juga, saya pun pamit.
Kali berikutnya saya hadir lagi, juga merasa nggak nyaman. Bulan berikutnya saya lakukan lagi, hadir di pertemuan itu, masih saja saya merasa asing.
Akhirnya saya mundur setelah 4 kali datang dalam 2 bulan terasa nggak sreg. Saya tidak hadir lagi selama 2 bulan berikutnya. Di sini istri saya ngeh. “Ayah, kok nggak ke Four Seasons lagi, sih?” tanyanya.
Saya jawab, “Males ah, ternyata aku di sana nggak cocok lagi, kayaknya. Beberapa kali ke sana itu kayak orang asing, nggak nyaman.”
Entah kesambet apa, istri saya tahu-tahu ceramah, “Ayah, dengar ya. Ini pendapataku, lho. Ayah itu mengajari banyak orang dan yang paling banyak adalah mengajari mindset Ayah tahu nggak, kenapa Ayah nggak cocok bergabung dengan mereka?
“Itu karena mindset Ayah miskin. Vibrasi Ayah jadi miskin. Getaran mereka kaya semua, vibrasi mereka makmur. Jelas saja Ayah nggak cocok disana. Gimana, sih?! Kan, Ayah sendiri yang ngajarin untuk membuat mindset kaya. Ubah dong Yah, vibrasinya.”
Saya mendengar kata-kata itu seperti kesetrum. Benar juga ya, kata saya dalam hati. Rekening mereka itu bukan saja 12 digit atau triliun, bahkan ada yang 13 digit. Itu personal wealth atau kekayaan pribadi.
Kalau mereka hanya memiliki 40% dan sebuah perusahaan, artinya perusahaan-perusahaan mereka kapitalisasinya bisa 13 – 14 digit.
Perkataan istri saya kena sekali di saya. Kesadaran saya masih miskin, apalagi dibandingkan mereka itu. Saya akui. Saya terima. Dan, saya buktikan lagi dengan datang lagi ke sana. Benar saja, saya merasa nggak nyaman.
Pembicaraan mereka tentang mobil, tentang materi, membuat saya nggak nyaman. Tapi, saya terus melihat kembali bahwa saya datang dengan tingkat awareness berbeda. Saya mengecek, dimana tidak nyamannya saya.
Bicara hal-hal materi, saya merasa risih, seakan mereka sedang pamer, menyombongkan keduniawian, dan saya tidak suka. Namun, saya perhatikan terus perasaan saya sewaktu mereka bicara banyak hal. Ternyata mereka bicara tidak ada kesan sombong atau vibrasi pamer. Lalu kenapa saya nggak nyaman, ya?
Ya mereka membeli barang 10 miliar hanya merupakan nol koma sekian persen dari kekayaan mereka. Sementara, banyak orang membelanjakan 1 juta rupiah saja sudah 30% dari pendapatan mereka.
Pulang dari pertemuan yang masih membuat saya tidak nyaman tersebut, saya mendapatkan satu hal: saya punya kesadaran masih miskin. Titik, nggak usah dibungkus basa basi. Saya putuskan sejak malam itu, saya mulai mengubah platform saya berpikir dan bertindak. Saya lakukan setiap hari, setiap saat, saya tanam program baru, sangat ekstrem saya menanamnya.
Bahkan, saya sampai nggak percaya atau seram sama fondasi yang saya buat itu di awalnya. Namun, saya bertekad bulat. Saya letakkan software baru tentang kemakmuran – ini ilmu praktik, bukan ilmu teori, jadi saya tidak bisa menuliskan caranya untuk Anda.
Sampai 2 bulan saya lakukan, saya sampai hafal karena masuk ke subsistem saya yang paling bawah. Akhimya saya percaya diri, yakin seyakin-yakinnya, bahwa saya adalah mereka. Lalu, saya kontak beberapa sahabat, bertanya kapan ngumpul, yang ternyata dijawab, ‘Ada nih, malam ini.”
Saya melihat jadwal saya, ternyata sampai pukul 18 masih ada tamu, sementara jam segitu biasanya sudah kumpul. Saya baru datang sekitar pukul 19.
Malam itu lain dan biasanya. Biasanya 7-15an orang, tetapi malam itu mencapai 30-an, seakan semua hadir. Kehadiran saya yang paling akhir membuat posisi duduk tidak ada pilihan. Diujung.
Bayangkan begini, dalam wine cigar lounge, ada meja tinggi dan bangku tinggi. Kursi bar. Sehingga, kalau tidak duduk, kita dapat berdiri menyandarkan tangan dengan nyaman di meja bar. Tapi, dalam wine table, meja tersebut berhadapan, baik duduk ataupun berdiri.
Akhirnya ketika semua sudah berhadapan, tinggal posisi saya di ujung yang sendirian. Semua mata menyapa, melihat saya hadir dan duduk diujung meja. Saya seperti under the spotlight posisinya.
Jeruk hangat diletakkan oleh waitress dikanan meja saya, dan mulai saya bicara. Saya nggak tahu kenapa, mungkin malam itu saya kesambet dewa ketawa, kali ya.
Saya seperti seorang stand up comedian yang lagi ditanggap oleh mereka. Selama 3 jam kami tertawa terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh. Asli lucu dan kami saling menimpali joke.
Baca Juga : Tentukan Tujuan Yang Jelas (Buku ‘Sadar Kaya’)
Pulang ke rumah pukul 11 malam, wajah saya sumringah. Orang rumah bertanya, ada apa, lalu saya ceritakan rinci kejadian malam tadi. Sejak saat itu, hape tidak pernah berhenti berdering hingga saat ini. Untuk beberapa eksekusi bisnis, kalau saya nggak ikut, mereka nggak jalan.
Semua mendadak berubah akrab. Saya nggak pusing lagi urusan Bombardier, Monalisa Project, Azimuth Yacht, Caesar Palace, atau apalah nama yang saya nggak kenal, nggak pengaruh lagi.
Sumber : Buku ‘SADAR KAYA’
Karya : Mardigu Wowiek Prasantyo
Baca Tulisan Berikutnya : Kata-kata Adalah Doa (Buku ‘Sadar Kaya’)