Baca Tulisan Sebelumnya : Apa Saja Isi Alam Bawah Sadar Seseorang? (Buku ‘Sadar Kaya’)
BEBERAPA tahun yang Lalu, saya bertanya kepada Pak Kadek, “Bagaimana cara agar sukses cepat tercapai?” Kemudian dia jawab dengan balik bertanya. “Kamu lapar, Wiek? Seberapa laparkah kamu?” Saat itu kami tengah bercakap santai di sore hari di kantor kami yang tua dibilangan Kebayoran.
Kantor tersebut adalah bangunan tahun ’70-an akhir yang hanya kami perbaiki sana-sini selama 25 tahun lebih kami berkantor disana. Karena struktur bangunannya yang tua, kamipun mencoba memolesnya agar terlihat sedikit lebih keren.
Baca : Apa Itu Pikiran? (Buku ‘Sadar Kaya’)
Kami beri tanaman dan pepohonan, jadi kalau ada tamu yang datang, mereka bisa menikmati keasrian taman dari pada terfokus pada tuanya bangunan kami tersebut.
Sore itu, kami berdua duduk didekat pintu meja kerja Pak Kadek. Kami geser bangku mendekati jendela agar isapan rokok dan asapnya bisa langsung keluar ruangan. Pak Kadek tahu saya bukan perokok dan dia menghargai itu.
Saya duduk di hadapannya, yang juga bersebelahan dengan jendela, dengan secangkir teh hangat. Kami berdua menyenang-nyenangkan diri dengan kesederhanaan yang kami miliki tersebut. Salah satu kebiasaan aneh kami berdua selain duduk diskusi adalah pada saat memilih makanan, terutama makan siang.
Kalau lagi punya uang, kami makan seadanya di warung, atau pesan pada penjaja makanan disekitar kantor yang murah meriah. Namun, begitu cash ditangan menipis atau bahkan tidak ada, kami makan direstoran karena bisa gesek kartu kredit. Aneh, bukan? Namun, itu salah satu hal yang sering kami jadikan bahan bercandaan.
Sore itu saya sedang kelelahan, baik secara mental maupun secara fisik. Membangun usaha, harus menyediakan banyak ekstra semangat dan kepercayaan. Saya harus menggaji karyawan, mencari modal, mempertahankan keuntungan perusahaan, merekrut SDM, serta membangun sistem dan organisasi.
Belum lagi mengurus hal rutin dirumah, keluarga, belanja harian, cicilan bank, biaya pendidikan, menjaga badan dengan pola makan dan olahraga, dan banyak lagi. Semua itu membuat saya saat itu sedang dititik nadir terbawah saya. Saya kecapean.
Pak Kadek berusia diawal 60-an saat itu, dan dia merupakan orang yang saya kenal lebih dari 70% waktu hidup saya – dari saya kelas 5 SD hingga saat ini diusia saya yang 40-an.
Memang, tidak setiap saat kami bersama-sama, bahkan selama beberapa tahun kami hanya bertemu 1 hari. Jalan hidup kami sendiri-sendiri hingga 4 tahun yang lalu, ketika saya memutuskan agar kami bergabung dan masuk didalam payung organisasi bersama.
Diskusi singkat ini terjadi ketika saya belum bergabung penuh, biasanya hanya dalam RUPS atau rapat komisaris. Sisanya, saya membangun sendiri organisasi bisnis saya, dia dengan organisasinya. Saya hanya pemegang saham kecil dan menjadi komisarisnya.
Hingga terlontarlah pertanyaan saya kepadanya sore itu “Babeh, bagaimana cara agar sukses cepat tercapai?” Ya, saya terkadang memanggilnya “babeh” karena sosoknya saat ini seperti pengganti sosok almarhum ayah saya yang telah tiada.
Pria berkaca mata minus dengan rambut memutih yang sedikit dikuncir karena kepanjangan itu menatap saya sambil mengisap rokoknya. Topinya yang dia kenakan terbalik membuat gayanya tampak seperti seniman saja.
Kembali ke pertanyaan Pak Kadek yang bertanya, seberapa lapar saya, saya pun menjawab, “Sangat lapar, lapar sekali.”
“Kalau sudah begitu, kamu tidak perlu bertanya lagi. Stop bertanya, kamu sudah paham. Kalau kamu terus bertanya, hanya akan membuat pikiran kamu berputar pada imajinasi. Maka, hentikan bertanya dalam diri. Kamu sudah cukup lapar. Kamu sudah menemukan ‘compelling reason’-mu. Mulai kerjakan saja,” urainya.
“Mengerjakan apa?” tanya saya kepadanya, ingin memastikan saja, tetapi saya tahu itu pertanyaan bodoh yang sudah terjawab.
Pak Kadek menarik napas panjang dengan isapan rokoknya dalam-dalam. “Kalau kamu tidak bisa berenang dan kamu tercebur ke air yang dalam. Maka, yang kamu harus lakukan adalah gerakan semua anggota tubuhmu agar kamu tetap mengambang dan kepala kamu muncul kepermukaan. Sekali kamu berhenti bergerak, kamu akan tenggelam. Itulah yang saya maksud dengan kerjakan dan lakukan,” jawabnya.
“Kalau kamu lapar dan sangat lapar, gerakan semua hal yang bisa membuat perut kamu terisi, setidaknya bisa makan. Mungkin tak perlu kenyang, tetapi kamu bisa menyambung hidup. Hingga kamu suatu saat sampai dipinggir, atau kamu tetap di air tapi tidak tenggelam.
“Begitu kamu bisa berenang, itulah kepandaian yang menempel abadi padamu hingga kamu dimana pun bisa buat uang, bisa sukses. Dan, apa pun kebutuhan kamu bisa terpenuhi. Anggap saat ini kamu tidak bisa berenang, anggaplah kamu selalu bodoh. Hal itu yang membuat kamu haus belajar dan lapar bekerja,” lanjutnya.
Saya merenung cukup lama dengan penuturannya itu. Lapar dan mempertahankan lapar, selalu bodoh dan belajar. Sepertinya sejak saat itulah dalam benak saya seakan ada kallmat yang terus menempel, “Keep being hungry Wowiek, and keep being stupid.”
“Jadi, jangan tanya saya lagi, kamu harus apa. Itu hanya menunjukkan bahwa kamu orang peragu,” lanjut Pak Kadek dengan intonasi tegas.
Mendengar kalimat tersebut, saya berhenti berpikir. Orang di hadapan saya adalah seorang perantau yang membangun jalan hidupnya dengan banyak kesalahan dan banyak kegagalan. Dari Bali ke Bandung sebagai mahasiswa ala kadarnya, yang tinggal mencari gratisan di sana-sini. Hingga akhirnya menjadi sukses, bangkrut dan gagal, lalu naik lagi. Rasanya ribuan hal buruk pernah dilaluinya. Guratan di wajahnya, menceritakan banyak masalah kehidupan yang telah dia lewati.
Berbicara dengannya seakan-akan berbicara dengan kitab kehidupan karena semua diceritakan dengan pengalamannya. Pembandingnya adalah dirinya. Dan, ketika ditanya ‘bagaimana,’ dia jarang menceritakan atau menjawab pertanyaan tersebut. Contohnya seperti pertanyaan saya tentang bagaimana cara cepat sukses tadi.
Contoh lain, misalkan ada yang bertanya, bagaimana caranya agar kredit bank cepat disetujui. Pasti banyak orang diluar sana, selain Pak Kadek, yang akan menjawabnya dengan detail. Contohnya, “Kamu harus menyiapkan FS, memberi appraisal tanah jaminan, menyiapkan RAB,” dan seterusnya.
Itu contoh orang yang menjawab pertanyaan dengan ‘bagaimana’-nya.
Akan tetapi, lain halnya dengan Pak Kadek. Kalau ia ditanya seperti itu, dia tidak akan menjawabnya, melainkan akan bertanya balik, “mengapa” pinjam? Dia tidak akan menceritakan bagaimana-nya atau how, tetapi why.
Ketika seseorang ditanya dengan why, entah mengapa orang itu akan keluar “self defense mechanical,” atau system pertahanan dirinya.
Dia tahu sekali bagaimana melakukan “reverse psychology” atau psikologi terbalik agar pertanyaan kembali ke si penanya yang membuat siapa pun itu menjawab pertanyaannya sendiri dan menyelesaikan persoalannya sendiri.
Dan, karena tahu kebiasaannya tersebut, saya harus menyiapkan pertahanan diri saya ketika ditanya olehnya pada kalimat selanjutnya di sore itu. “Wiek, kenapa kamu lapar? Kenapa kamu harus sukses?”
Baca Juga : Hardware Buatan Tuhan, Software Buatan Manusia (Buku ‘Sadar Kaya’)
Yang saya lakukan adalah, saya rebahkan badan saya di sandaran kursi. Saya silangkan kaki kanan saya ke kaki kiri. Saya ambil teh hangat yang sudah mulai dingin.
Saya seruput sedikit, lalu saya kembalikan cangkir tersebut ke dekat jendela. Lalu saya lanjutkan dengan menarik bibir saya setinggi mungkin di wajah saya, tersenyum. Yang dijawab dengan uluran tangannya, “Welcome aboard, welcome to the Jungle.”
Sumber : Buku ‘SADAR KAYA’
Karya : Mardigu Wowiek Prasantyo
Baca Tulisan Berikutnya : Harga Sebuah Kesuksesan (Buku ‘Sadar Kaya’)