JAKARTA – Pakar komunikasi politik Effendi Gazali menyampaikan langsung perbaikan permohonan, di antaranya mengenai kedudukan hukum dan kerugian konstitusional yang dialami. Ia menjelaskan perbedaan permohonannya dengan permohonan sebelumnya yang telah diputus MK. Ia menyebut jika MK menolak pengujian Pasal 222 UU Pemilu sebagai open legal policy atau kebijakan hukum yang dapat dibuat oleh pembentuk undang-undang, maka permohonan Pemohon menerima Pasal 222 UU Pemilu sebagai open legal policy yang dapat dibuat oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi, lanjutnya, terkait dengan hasil hak suara Pemilu Legislatif 2014 yang memiliki posisi khusus, yaitu menyangkut pembentuk kekuasaan yang tidak dapat diubah tanpa izin pemilih.
“Jadi, artinya posisi yang berbeda adalah kami menerima open legal policy atau kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang sebagaimana selalu selama ini diputuskan oleh putusan MK kalau ada PUU terhadap presidential threshold walaupun terdapat beberapa dissenting opinion,” urainya.
Selanjutnya untuk nasihat yang secara khusus mengarah kepada pembuatan matriks alasan permohonan batu uji atau pendekatan yang baru, Effendi sudah membuat matriks. “Walaupun selalu ada catatan matriks atau model, pasti akan punya kelemahan meninggalkan beberapa bagian, beberapa persen karena tidak mampu melukiskan secara jelas dan secara lengkap,” imbuh Effendi kepada Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Seperti diketahui, Effendi Gazali dan Reza Indragiri Amriel melakukan uji materiil Pasal 222 UU No. 7/2017 yang menyebutkan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”
Effendi mendalilkan bahwa Pasal 222 UU Pemilu, andaikan pun dibentuk atas basis open legal policy, tidak akan membawa kerugian konstitusional kepada warga negara manapun jika dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi mulai berlaku pada Pemilihan Serentak Presiden dan DPR pada 2024. Karena sejak UU Pemilu ini dinyatakan berlaku 16 Agustus 2017, warga negara sudah mengetahui serta dianggap mengetahui bahwa ketika melakukan hak pilihnya untuk Pemilu DPR 2019, hal itu sekaligus akan dihitung sebagai bagian dari ambang batas untuk pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu 2024.
Namun tidak demikian, ungkap Effendi, jika Pasal 222 UU Pemilu ini berlaku pada Pemilu Serentak Presiden dan DPR 2019 ini, Pasal 222 ini akan membohongi warga negara dan memanipulasi hasil hak pilih warga negara dalam Pemilu DPR 2014. Karena pada masa sebelum hingga telah selesainya seluruh warga negara melakukan hak pilihnya untuk Pemilu DPR 2014, tidak pernah sekalipun diberikan informasi atau hak dan kewajiban oleh undang-undang atau peraturan manapun, terutama oleh undang-undang yang berlaku sebelumnya yakni UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden atau UU No. 8/2012 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal tersebut sekaligus akan dihitung sebagai bagian dari persyaratan ambang-batas untuk pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu 2019. (Nano Tresna Arfana/LA–MK)