Aturan Daftar Pemilih Tambahan Pemilu 2019 Diuji

Hukum15 Dilihat

MAHKAMAH Konstitusi (MK) menggelar dua sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Kamis (14/3/2019) di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon dua perkara tersebut mempersoalkan terkait Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan syarat dapat memilih mesti memiliki KTP Elektronik.

Permohonan Nomor 20/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Perludem, Hadar Nafis Gumay, Feri Amsari, Augus Hendy, A. Murogi bin Sabar, Muhamad Nurul Huda, dan Sutrisno. Para Pemohon menguji Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu.

banner 336x280

Muhammad Nurul Huda selaku Pemohon Prinsipal menjelaskan bahwa hak memilih sebagai hak konstitusional yang harus dilindungi tidak boleh dihambat, dihalangi, ataupun dipersulit oleh ketentuan prosedur administratif apapun. “Bahwa pasal-pasal yang diuji konstitusionalitasnya dalam perkara a quo adalah pasal-pasal yang secara prosedur administratif menghambat, menghalangi, dan mempersulit warganegara untuk menggunakan hak dalam pemilu, oleh karena itu harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Selain itu, Huda menyebut masih banyak penduduk dengan hak pilih yang belum memiliki KTP elektronik, serta pemilih yang baru akan 17 tahun pada saat hari H pemungutan suara, tetapi tidak dapat memilih karena tidak memiliki KTP elektronik. Selain itu, syarat KTP elektronik juga berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih bagi kelompok rentan seperti masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rutan, serta beberapa pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan KTP elektronik.

“Kami berpendapat untuk menyelamatkan suara-suara pemilih yang perlu dibuat dasar hukum pembentukan TPS Khusus, yaitu TPS yang dibuat berbasis DPTb, pada lokasi dimana para pemilih demikian berada,” jelasnya.

Untuk memasukkan aturan hukum penyelamatan tersebut,  Huda menegaskan yang paling mungkin adalah memaknai secara bersyarat pasal yang berkaitan dengan TPS dan jaminan prinsip pemilu yang luber. Hal ini untuk memberikan akses seluas dan semudah mungkin bagi pemilih.

Sementara para Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XVII/2019 dimohonkan oleh Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah yang masih berstatus sebagai mahasiswa. Mereka merasa dirugikan dengan berlakunya pasal 210 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2), Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu. Pemohon mengujikan ketentuan hak pilih bagi pemilih yang pindah memilih untuk diakomodir dalam DPTb.

Kedudukan Hukum

Menanggapi permohonan Nomor 20/PUU-XVII/2019, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempermasalahkan kedudukan hukum. Ia menilai Pemohon perlu menyebutkan pasal dalam UUD 1945 yang menjamin hak konstitusional Pemohon yang terlanggar dengan berlakunya pasal yang diuji. Kemudian, Saldi juga menegaskan perlunya ada penjelasan mengenai petitum provisi. “Seharusnya ini tidak ditampilkan secara langsung tiba-tiba saja, namun perlu diberikan gambaran mengapa mesti ada provisi di bagian posita. Terakhir yang penting adalah Pemohon mesti bisa memberi gambaran jika nanti pasal yang diujikan dikabulkan. Dimana untuk penerapan dalam hari H pemilu akan sangat sulit secara teknis,” jelasnya. Ini, kata Saldi, dapat menimbulkan masalah baru di sisi manajemen penyelenggara pemilu.

Sementara untuk Perkara Nomor 19/PUU-XVII/2019, Saldi melihat bagian kedudukan hukum justru masuk ke dalam pokok permohonan. Ia meminta bagian tersebut diperbaiki agar MK dapat melihat argumen dengan lebih jelas.

Sedangkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta sisi kedudukan hukum Pemohon Nomor 19/PUU-XVII/2019 mesti diperjelas. Selain itu, permintaan agar ada kartu pemilih tambahan berdasar domisili KTP seseorang merupakan hal yang sulit.

“Misal Anda harusnya mencoblos di Semarang, tapi Anda tinggal di Jakarta. Lalu, di Jakarta mesti ada surat suara pilihan dengan kertas suara yang isinya calon dari Semarang. Ini teknis penerapannya sulit,” jelasnya. Ia menyebut Indonesia adalah negara luas dan berbentuk kepulauan. Ia menambahkan akan sulit dalam distribusi surat suara model semacam ini.

Sementara untuk Perkara 20/PUU-XVII/2019, Arief meminta penghapusan kata-kata yang sensitive, yakni “menyelamatkan suara rakyat”. Baginya, ini tidak elok sebab jika MK nantinya tidak mengabulkan permohonan, maka akan dianggap tidak menyelamatkan suara rakyat. (arif Satriantoro/LA–MKRI)