Terhalang Nyalon, Mantan Bupati Ogan Ilir Gugat UU Pilkada

Hukum45 Dilihat

MAHKAMAH Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) pada Selasa (18/12) di Ruang Sidang Panel MK.

Dalam Perkara Nomor 99/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Ahmad Wazir Noviadi, menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada yang berbunyi, “… Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keteranan catatan kepolisian,” berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon.

banner 336x280

Diwakili Salman Darwis, Pemohon mendalilkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-463 Tahun 2016 tentang Pengangkatan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan tanggal 11 Februari 2016, Pemohon dilantik dan diambil sumpah jabatan pada 17 Februari 2016.

Namun kemudian pada 18 Maret 2018 Pemohon diberhentikan dari jabatannya. Kemudian Pemohon diberhentikan secara tetap berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-3030 Tahun 2016 tertanggal 21 Maret 2016 karena Pemohon berstatus sebagai tersangka penyalahgunaan narkotika.

Selanjutnya, berdasarkan vonis Pengadilan Negeri Palembang memerintahkan Pemohon menjalani pengobatan melalui rehabilitas selama enam bulan. Sejak 18 Maret – 13 September 2016 Pemohon telah menjalankan proses rehabilitasi medis dan sosial di Pusat Rehabilitasi Narkoba Badan Narkotika Nasional Lido, Bogor, Jawa Barat dan RS Ernaldi Bahar Palembang, Sumatera Selatan.  

Pemohon berkeinginan mencalonkan diri dalam Pilkada Periode 2021 – 2026, namun keinginan tersebut terhalang akibat pemberlakukan norma tersebut. “Norma a quo salah satunya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” jelas Salman di hadapan sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Saldi Isra.

Untuk itu, melalui petitum, Pemohon memohonkan kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat kecuali dimaknai “tidak pernah melakukan perbuatan tercela, kecuali bagi pemakaian narkotika yang sudah dinyatakan sembuh, secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana karena memakai narkotika”.

Kepentingan publik

Menanggapi permohonan Pemohon, Saldi menyikapi perlunya Pemohon melakukan penyempurnaan legal standing sebagai warga negara yang telah mengalami sebuah kejadian faktual dengan keberlakuan norma tersebut.

Selain itu, perlu pula Pemohon untuk menjabarkan dirinya sebagai warga negara yang memiliki hak untuk mencalonkan diri dengan kepentingan publik yang harus dijamin untuk mendapatkan pemimpin atau calon anggota pejabat pemerintahan yang bersih dari perbuatan tercela.

“Manakah yang harus diutamakan? Hal ini perlu dijelaskan karena Pemohon pernah melakukan perbuatan tercela dengan kejadian faktual yang dialami dan sudah pernah terjadi. Bagaimana membangun argumentasi itu dengan kaitannya dengan hak warga negara lain secara umumnya,” terang Saldi.

Sedangkan Manahan lebih menyikapi permohonan Pemohon pada bagian norma yang diujikan. Menurut Manahan, Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada sudah sangat jelas dan penjelasan pasal pun telah menguraikan  apa saja yang dimaksud dengan perbuatan tercela.

“Maka menurut Pemohon dilihat dari perbuatan tercela lainnya yang ada pada penjelasan, seperti mabuk, zina, dan perbuatan lainnya itu, bagaimana dari segi substansi dari subjektif yang diperjuangkan, kira-kira seperti apa perjuangan bagi yang lain ini?,” tanya Manahan.

Sebelum menutup persidangan, Manahan menyampaikan pada Pemohon untuk menyerahkan perbaikan permohonan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Senin, 31 Desember 2018 pukul 10.00 WIB. (Sri Pujianti/LA–MKRI)