Perdalam Original Intent Pada Pengujian UU Tipikor

Hukum18 Dilihat

SIDANG lanjutan pengujian Undang-Undang  Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (6/2/2019) siang. Agenda sidang perkara yang teregistrasi dengan Nomor 4/PUU-XVII/2019 ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan. Permohonan ini diajukan oleh seorang dosen bernama Jupri (Pemohon I) dan dua mahasiswa, yakni Ade Putri Lestari (Pemohon II) dan Oktav Dila Livia (Pemohon III). Para Pemohon menguji Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan, “Yang dimaksud dengan keadaan tertentu ”dalam   ketentuan ini dimaksudkan  sebagai  pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagapengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

banner 336x280

“Perbaikan pokok permohonan terkait penambahan original intent. Kami sempat mendalami original intent, mencari data ke DPR mengenai risalah sidang saat pembahasan tahun 1999. Kami tidak mendapatkan data tahun 2001 karena tidak ada berkas lain selain yang diberikan kepada kami,” jelas Viktor Santoso Tandiasa kuasa hukum Pemohon.

Menurut Pemohon, kalau melihat original intent Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor berdasarkan data di DPR, banyak pembahasan  Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tentang pemberlakuan pidana mati bagi pelaku korupsi. Terdapat beberapa keterangan pemerintah terkait hukuman mati bagi koruptor, antara lain Pemerintah menyatakan pemberlakuan pidana mati tetap diterima, tetapi tetap merupakan satu bagian dari pemberatan pidana.

Dijelaskan Pemohon, pemerintah tetap berpendirian bahwa pidana mati tetap diterapkan bagi pelaku korupsi dalam hal special characteristic. Misalnya, hukuman mati juga diterapkan bagi pelaku tindak pidana yang dilakukan saat terjadi bencana alam maupun saat negara dalam keadaan genting.

Sebelumnya, Pemohon menyoroti kata “nasional” dalam penjelasan norma tersebut. Menurut Pemohon, pelaku tindak pidana korupsi dalam dana penanggulangan bencana alam seolah-olah dilindungi oleh norma di atas sepanjang status bencana alam yang dananya dikorupsikan tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana alam nasional.

Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa setelah bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan pipa high density polyethylene(HDPE) di daerah tersebut. Pemohon juga menjelaskan temuan lain, yaitu dugaan korupsi di beberapa proyek pembangungan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Pemohon berargumen, dengan tidak ditetapkannya status bencana alam nasional di Palu dan Donggala, Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menjadi tidak dapat diterapkan.

Menurut Pemohon, tindak pidana korupsi seharusnya termasuk dalam jenis kejahatan luar biasa, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, apalagi jika hal tersebut dilakukan dalam upaya penanggulangan bencana alam. Pemohon berargumen bahwa sanksi pidana hukuman mati seharusnya diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi dalam keadaan bencana alam, terlepas ditetapkan berstatus nasional atau tidak. Berdasarkan hal tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan kata “nasional” setelah frasa “bencana alam” dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Nano Tresna Arfana/LA–MKRI)