JAKARTA – Ketiadaan pemaknaan frasa “pekerjaan lain” termasuk fungsionaris partai politik dalam UU Pemilu telah mencerminkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum dalam kualifikasi subjek hukum perseorangan sebagai calon anggota DPD. Hal tersebut disampaikan oleh Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri RI Suhajar Diantoro mewakili Pemerintah dalam sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Kamis (24/5) di Ruang Sidang Pleno MK.
Lebih lanjut, Suhajar menjelaskan penormaan syarat pekerjaan lain sebagai termasuk di dalamnya adalah pekerjaan sebagai fungsionaris partai politik, justru mengurangi esensi dari semangat kata perseorangan yang pada prinsipnya boleh berasal dari manapun. “Mengenai permohonan pengujian pemaknaan frasa pekerjaan lain dalam undang-undang a quo ini, ketiadaan syarat bukan sebagai fungsionaris partai politik bagi calon anggota DPD, maka menurut Pemerintah apabila belum berada dalam norma undang-undang, hal ini tidak dapat dimintakan pengujian karena objeknya belum terbentuk,” tegasnya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Tidak Mengurangi Dukungan
Suhajar juga menjelaskan pengaturan dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu sudah selaras dengan konstitusi, yakni Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Sebab, lanjutnya, sama sekali tidak mengurangi hak calon perseorangan nonparpol untuk menjadi calon anggota DPD. Selain itu, juga tidak mengurangi ruang serta kesempatan para calon anggota DPD tersebut untuk mendapatkan dukungan dari penduduk. Bahwa apabila frasa pekerjaan lain dalam pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak dimaknai termasuk ‘sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik’, maka dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal pengaturan persyaratan untuk menjadi calon anggota DPD.
“Alasannya, pertama hal tersebut dapat menjadi pintu masuk pihak-pihak tertentu untuk mengajukan keberatan atau gugatan terhadap hasil penyelenggaraan pemilu, dan kedua adalah dapat mengganggu proses penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan, khususnya untuk pemilihan anggota DPD,” jelasnya terkait Perkara Nomor 30/PUU-XVI/2018 tersebut.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menguraikan keberadaan dirinya dalam lembaga DPD yang merupakan representasi masyarakat lokal untuk mewakili daerahnya menyatakan Pasal 182 huruf I sepanjang frasa “pekerjaan lain” mengandung ketidakjelasan maksud. Sebab, sebagai fungsionaris parpol berikut juga sebagai anggota DPD yang memiliki jabatan, tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan kepengurusan di parpol sudah dapat dipastikan akan mengalami konflik kepentingan di antara kedua jabatan tersebut. Dengandemikian, menurutnya sangat terbuka kemungkinan adanya konflik kepentingan meskipun parpol yang menjadi wadah aspirasi politiknya tidak ikut menjadi peserta pemilu. Hal tersebut juga dapat dimungkinkan terjadi karena masih adanya kemungkinan bagi parpol yang dimaksud pada pemilu yang akan datang bagi parpolnya untuk kembali mendaftar jadi peserta pemilu.
Sebelum mengakhiri persidangan, Anwar menyampaikan persidangan akan dilanjutkan kembali pada Kamis, 28 Juni 2018 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Ahli Pemohon. (Sri Pujianti/LA–MK)