PEMBATASAN waktu kampanye Pemilihan Umum sebatas 21 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 276 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mempersulit partai politik baru untuk dikenal masyarakat.
Hal ini dapat merugikan bagi partai-partai politik baru yang ikut berkontestasi dalam Pemilu 2019 mendatang.
Keterangan ini disampaikan oleh Pakar Komunikasi Ade Armando yang dihadirkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam sidang uji materiil Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2) serta Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu.
Sidang lanjutan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (5/11) tersebut juga menghadirkan saksi dan Pihak Terkait dari Partai Perindo.
Armando menyebut selain parpol, masyarakat juga dirugikan dengan pembatasan waktu kampanye Pemilu selama 21 hari sebelum masa tenang karena terlalu singkat.
Menurutnya, kebutuhan informasi menjadi penting dalam pemilu terkait kualitas kandidat yang bertarung dalam pemilu. “Menjadi sangat penting bagi warga negara, mencari tahu siapa yang akan dipilih, tapi jika melakukan kampanye hanya 21 hari, hal ini merupakan waktu yang singkat,” urainya dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Waktu yang diberikan selama 21 hari tersebut, menurut Armando, hanya akan membuat masyarakat sadar tentang partai politik baru, namun tidak cukup waktu untuk mempelajari kandidat dari parpol tersebut. Ia mencontohkan kampanye pemilu melalui media televisi yang mudah menjangkau masyarakat. “Media massa yang bisa menjangkau adalah televise. Bila dimulai 21 hari, itu hanya akan membangkitkan pengetahuan parpol. Tidak ada waktu untuk mencari tahu tentang kandidat-kandidatnya,” jelasnya.
Armando juga menegaskan anggapan yang menilai aturan pembatasan waktu kampanye akan menyelematkan parpol bermodal kecil, tidaklah benar. Ia menilai media televisi tetap menjadi sarana paling efektif dan efisien untuk melakukan kampanye pemilu dilihat dari berbagai survei yang telah dilakukan.
“Sarana yang dapat diandalkan agar masyarakat tahu tentang parpol baru hanyalah melalui iklan. Dan media yang digunakan dalam beriklan adalah televisi. Dengan demikian bila parpol baru dilarang beriklan di televisi, maka parpol baru tidak dapat menjangkau masyarakat. Padahal media yang efektif adalah media siaran. Larangan yang dimuat UU Pemilu tidak berarti menyelamatkan parpol yang bermodal kecil. Itu (anggapan yang) salah,” urainya menangapi permohonan Nomor 48/PUU-XVI/2018 tersebut.
Pembatasan Konten Iklan Kampanye
Hal serupa juga disampaikan Partai Perindo melalui Ketua DPP LBH Perindo Ricky K Margono yang hadir sebagai Pihak Terkait. Ia menilai pembatasan waktu kampanye Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu yang diuji Pemohon melanggar hak konstitusional Pihak Terkait sebagai parpol baru peserta Pemilu 2019. Margono menyatakan seharusnya pembentuk undang-undang bukan membatasi waktu kampanye bagi parpol, namun membatasi konten isi kampanye parpol.
“Pasal tersebut merupakan pengingkaran atas bentuk pelanggaran hak konsitusional Pemohon sebagai parpol. Demi menciptakan politik berkualitas, pemilu harus adil dengan tidak dimenangkan oleh parpol bermodal besar, namun parpol yang diberi legitimasi oleh rakyat. UU Pemilu seharusnya mengatur tentang konten kampanye, bukan pembatasan waktu,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) selaku Pemohon Perkara 48/PUU-XVI/2018 melakukan pengujian Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2) serta Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu. Menurut Pemohon, frasa “citra diri” pada Pasal 1 angka 35 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 karena dinyatakan sebagai bagian dari kegiatan kampanye pemilu. Sedangkan Pasal 275 ayat (2) dan Pasal 276 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 karena telah menimbulkan pembatasan bagi Pemohon untuk secara mandiri melakukan kampanye, membatasi partai politik baru yang mengindikasikan adanya kartel politik yang dilakukan partai politik lama serta merugikan hak konstitusional PSI sebagai partai politik baru. Karena tidak memberikan ruang untuk beriklan, selain melalui kanal yang disediakan KPU.
Sementara itu, Muhammad Hafidz dan Abdul Hakim sebagai Pemohon Perkara 53/PUU-XVI/2018 merasa dirugikan dengan sanksi pidana sebagaimana tercantum Pasal 429 UU Pemilu karena terancam oleh ketentuan pidana akibat kampanye pemilu di luar jadwal yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 492 UU Pemilu. Pemohon menilai hal tersebut akan menghalangi hak konstitusional Pemohon untuk mewujudkan partai yang ideal bagi rakyat, dengan meminta masukan dan atau tanggapan dari masyarakat terkait dengan keberpihakan setiap perorangan dalam menentukan siapa yang akan menjadi pilihan dan alasan memilih calon dalam kontestasi pemilihan umum. (Lulu Anjarsari–DPR)