MK Tolak Permohonan Uji UU Jasa Konstruksi

Hukum19 Dilihat

PERMOHONAN pengujian Undang-Undang  Nomor  2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi) yang diajukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJKP) Aceh bersama sejumlah Pemohon lainnya akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon VI, dan Pemohon VII berkenaan dengan Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 68 ayat (4), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 77, Pasal 84 ayat (2) dan Penjelasannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 70/PUU-XVI/2018, pada Selasa (30/4/2019).

banner 336x280

Selain itu, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon I, Pemohon IV, Pemohon VI, dan Pemohon VII berkenaan dengan Pasal 84 ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi  maupun Pemohon II, Pemohon III, Pemohon V, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon XLVII tidak dapat diterima.

Dalam pendapatnya, Mahkamah mempertimbangkan kekhawatiran para Pemohon terhadap kewenangan menteri yang ditentukan dalam norma Pasal 70 ayat (4) dan Pasal 71 ayat (3) serta ayat (4) UU Jasa Konstruksi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945, yang menurut para Pemohon akan menghilangkan sub-urusan jasa konstruksi yang telah diberikan kepada daerah.

Setelah membaca saksama pengaturan mengenai kewenangan gubernur dan kewenangan bupati atau walikota yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa konstruksi, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak relevan dipersoalkan karena UU Jasa Konstruksi sama sekali tidak menghilangkan kewenangan daerah mengatur dan  mengurus sub-urusan jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23/2014.

“Sebaliknya sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 justru memperkuat kewenangan daerah yang terkait dengan penyelenggaraan jasa konstruksi. Oleh karena itu dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 70 ayat (4) dan Pasal 71 ayat (3) serta ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 tidaklah beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo yang membacakan pendapat Mahkamah.

Selanjutnya mempertimbangkan dalil para Pemohon soal kata “dapat” dalam Pasal 77 UU UU Jasa Konstruksi. Menurut Mahkamah, dengan dirumuskannya kata “dapat” dalam Pasal a quo tidak menyebabkan adanya ketidakpastian bagi masyarakat jasa konstruksi dalam melakukan pembinaan jasa konstruksi sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan para Pemohon.

Mahkamah berpendapat, kata “dapat” dalam norma Pasal 77 UU Jasa Konstruksi tidaklah mengandung ketidakpastian hukum karena hakikat norma dapat memuat perintah, larangan, dan kebolehan. Sehingga dalam konteks norma a quo, hakikat yang terkandung di dalamnya adalah norma yang mengandung kebolehan. Persoalannya kemudian, mengapa dalam konteks pembinaan diatur dengan norma kebolehan. Hal tersebut tidak lain karena pembinaan merupakan ranah kewenangan pemerintah, sehingga apabila dalam hal-hal tertentu pemerintah memandang perlu adanya keterlibatan masyarakat jasa konstruksi. Hal demikian diatur dalam Pasal 77 UU Jasa Konstruksi. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, ternyata dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum.

Selain itu Mahkamah mempertimbangkan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 84 ayat (5) UU Jasa Konstruksi karena menurut para Pemohon norma a quo bersifat birokratis dan resentralistik dalam pembentukan lembaga, in casu, LPJK sehingga bertentangan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya.

Mahkamah berpendapat, norma yang termuat dalam Pasal 84 ayat (5) UU Jasa Konstruksi mengatur tata cara pembentukan pengurus tingkat pusat pada lembaga jasa konstruksi yang penekanannya pada partisipasi masyarakat, bukan pada tatacara pembentukan lembaganya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 84 ayat (5) UU Jasa Konstruksi yang menyatakan, \”Dalam proses untuk mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Menteri menyampaikan calon pengurus lembaga sebanyak dua kali lipat dari jumlah pengurus lembaga yang akan ditetapkan oleh Menteri\”. Penjelasan tersebut lebih menekankan pengisian anggota pengurus tingkat pusat, bukan pada pembentukan lembaga jasa konstruksi tingkat nasional sebagaimana yang didalilkan para Pemohon. Apalagi para Pemohon tidak memberikan alasan jelas yang jadi dasar pengujian persoalan inkonstitusionalitas norma pasal tersebut. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon a quo adalah kabur. (Nano Tresna Arfana/LA–MKRIMKRI)