Sejumlah partai politik di Indonesia dilaporkan meminta “sumbangan dana” dari caleg nomor jadi untuk biaya pemilu tahun depan.
Salah satu di antaranya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang “mewajibkan calon legislator DPR RI nomor urut 1 berkontribusi atas biaya saksi sebesar Rp500 juta”.
Wakil Ketua Umum PPP, Arwani Thomafi, membenarkan adanya dana sumbangan itu tetapi ia mengatakan besarannya tergantung kemampuan keuangan masing-masing calon.
Menurut Arwani honor untuk saksi sudah lazim terjadi di partai politik mana pun.
“Iuran dana saksi itu jadi kebutuhan para caleg. Jadi teman-teman di PPP sadar untuk bisa bersama-sama iuran agar partai tak cari dana dari luar yang tidak jelas,” ujar Arwani Thomafi saat dihubungi hari Rabu (17/10).
“Kita harus pastikan seluruh kegiatan dibiayai dari dana yang sumbernya jelas. Kita ingin jadi partai yang mandiri sepenuhnya dari anggota,” sambungnya.
Keberadaan saksi, menurutnya, sangat diperlukan untuk memastikan tidak ada kecurangan dari pihak lain. Apalagi jika ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Sedangkan kalau hanya mengandalkan saksi dari Bawaslu, diragukan kualitasnya.
“Memangnya saksi dari Bawaslu cukup? Bawaslu itu cuma sediakan satu saja, sementara perwakilan dari partai tak ada saksinya. Itu saja masih ada sengketa. Jadi keberadaan saksi partai penting,” jelasnya.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan PPP pada 19 Juli 2018 dari Dewan Pemimpin Pusat tertulis, apabila calon yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban pembayaran uang saksi, maka Dewan Pimpinan Pusat akan mencoret dan mengganti dengan bakal calon legislator yang memenuhi syarat itu.
Karena itulah PPP, kata Arwani, mengusulkan kepada pemerintah agar ikut menanggung biaya saksi.
Sebab sebagai penyelenggara harus menyukseskan seluruh tahapan mulai dari pemungutan, penghitungan, hingga rekapitulasi berjalan lancar.
“Salah satu parameter sukses pelaksanaan pemilu dimulai dari pemungutan suara. Kan bebannya besar, ya harga demokrasi seperti itu,” jelas Arwani.
Lena Maryana Mukti, calon legislator DPR RI dari PPP nomor urut 1 dari Dapil DKI Jakarta II, mengaku tak keberatan dengan syarat kontribusi biaya saksi yang diberlakukan partainya.
Calon inkumben ini mengatakan, akan tetap memberikan dana tersebut meski jumlahnya tak sebesar yang dipatok.
“Saya pikir itu realitas yang dihadapai partai dan caleg, karena tak bisa kalau tak ada saksi. Potensi kecurangan luar biasa. Saksi dibutuhkan supaya suara tidak dicuri partai atau caleg lain,” kata Lena.
“Kalau ada yang keberatan, harus dipertanyakan kualitas kader partainya. Karena partai ini dibangun dengan semangat gotong royong.”
“Kalau hitungannya, memang tiap caleg harus sediakan segitu, tapi kan tak mungkin. Caleg yang punya keterbatasan dana kampanye, sulit memenuhi,” sambungnya.
Baginya, keberadaan saksi tetap dibutuhkan untuk mengawasi 800.000 lebih Tempat Pemungutan Suara (TPS), terutama di tempat-tempat yang potensi kecurangannya besar.
Dalam hitungannya, satu TPS setidaknya harus dijaga satu saksi dengan honor minimal Rp100.000. Sementara kalau merujuk pada jumlah TPS yang ada, maka uang yang harus digelontorkan mencapai Rp8 miliar.
“Coba bayangkan, dari mana datangnya uang itu? Kan tak mungkin ditanggung partai saja? Sementara mengusulkan ke pemerintah tidak disetujui.”
Lena juga menyatakan, total uang yang harus ia keluarkan untuk bertarung di Pemilu 2019 mendatang mencapai Rp300 juta. Pengeluaran paling besar untuk kampanye menemui konstituen.
“Modal kampanye itu bisa ditekan dengan kampanye door to door, bertemu komunitas, atau teman-teman alumni. Kebetulan saya dulu di HMI. Sedangkan baliho hanya dipasang di beberapa sudut saja.”
Bagaimana menghilangkan ‘mahar politik‘?
Namun demikian menurut Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, partai politik tak semestinya memaksa para calon mengeluarkan biaya saksi.
Sebab praktik semacam itu, bisa menjadi pemantik korupsi di kemudian hari. Keberadaan saksi independen dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah cukup mewakili untuk menghalau indikasi kecurangan.
“Kalau dipaksa tidak boleh dan harus disesuaikan dengan kemampuan calon. Karena sudah ada pengawas TPS, tak relevan lagi peserta pemilu menyediakan saksi di tiap TPS. Jadi pelan-pelan mulai digeser paradigma saksi itu membebani partai. Kalau mampu ya silakan,” ujar Fadli Ramadhanil.
Selain biaya saksi, beberapa modus yang digunakan partai untuk menarik mahar adalah dana kebutuhan operasional, program partai, atau pembangunan sekretariat.
Fadli juga mengatakan tak hanya calon legislator nomor urut satu yang dikenai “pungutan” tapi juga diberlakukan kepada caleg di daerah pemilihan tertentu.
“Meskipun sebetulnya nomor urut sudah tak relevan dengan konteks pemilihan caleg akan mendapat suara terbanyak. Tapi perilaku masyarakat masih menganggap nomor urut kecil peluangnya lebih besar daripada nomor urut besar.”
Untuk menghapus biaya besar dalam Pemilu legislatif, kata Fadli, partai politik harus mengubah sistem perekrutan.
Yakni dengan menggelar pemilu internal di mana calon terbaik yang akan bertengger di urutan pertama.
Hal lain, caleg yang maju dalam perebutan daerah pemilihan harus dari anggota internal. Sehingga menutup peluang “caleg kutu loncat” memberikan mahar lebih besar agar bisa maju bertarung.
“Jadi prosesnya lebih adil. Caleg yang suka pindah partai nggak bisa lagi bayar partai agar bisa maju,” jelasnya.
Sumber : bbc.com