MAHKAMAH Konstitusi menyatakan mengabulkan sebagian permohonan yang dimohonkan Hendrik pada perkara yang teregistrasi Nomor 87/PUU-XVI/2018 dalam sidang putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (25/4/2019). Melalui pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan Pemohon pada intinya menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak menentukan rentang waktu putusan inkrachtyang dijadikan dasar untuk memberhentikan PNS tidak dengan hormat. Sehingga Pemohon mempertanyakan apakah putusan inkracht dimaksud adalah putusan inkracht mulai tahun 2000 atau sejak diundangkan PP 11/2017 ataukah sejak diberlakukannya SKB/2018.
Dalam hal ini, Mahkamah berpendapat pertanyaan demikian tidak relevan. Sebab, ketentuan yang tertuang dalam norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tersebut diberlakukan terhadap PNS yang masih aktif. Sehingga kapan pun suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana sebagaimana norma tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht-nya, Pasal 87 a quo tetap berlaku selama PNS yang dijatuhi pidana demikian masih aktif.
“Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN tidak memberikan kepastian hukum, sepanjang dikaitkan dengan tidak adanya persoalan jangka waktu sebagaimana dimaksudkan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Saldi di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Peluang Ketidakadilan
Namun terlepas dari dalil Pemohon tersebut, sambung Saldi, adanya dalil Pemohon yang menyatakan keberadaan norma a quo tidak memberikan kepastian hukum, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal 87 ayat (4) UU ASN secara keseluruhan adalah mengatur tentang alasan-alasan yang menyebabkan seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat. Namun, lanjut Saldi, berkaitan dengan keberadaan frasa “dan/atau tindak pidana umum” yang dijadikan sebagai bagian tak terpisahkan dari norma dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN ini, Saldi menyebutkan hal tersebut berkaitan dengan norma dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN.
Berikutnya, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menyebutkan bahwa persoalan yang timbul kemudian adalah hal-hal yang akan dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian jika seorang PNS melakukan tindak pidana umum yang dijatuhi pidana penjara dua tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, apakah akan melakukan tindakan dengan memberlakukan Pasal 87 ayat (2) UU ASN atau Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN.
Keadaan demikian, lanjut Palguna, di samping menimbulkan ketidakpastian hukum juga membuka peluang bagi Pejabat Pembina Kepegawaian untuk melakukan tindakan berbeda terhadap dua atau lebih bawahannya yang melakukan pelanggaran yang sama. Selain itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN, maka tidaklah dapat diterima oleh penalaran hukum yang wajar seorang PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena melakukan “tindak pidana umum” yang tidak ditentukan batas minimum pidananya. Dengan demikian telah ternyata bahwa keberadaan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b telah menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka peluang lahirnya ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Menyatakan frasa “dan/atau pidana umum” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjadi berbunyi, “dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan,” ucap Anwar dalam pembacaan amar putusan.
Tidak Dapat Diterima
Pada sidang yang sama, Mahkamah juga menyatakan tidak dapat diterima terhadap permohonan yang teregistrasi Nomor 88/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Fatah Yasin, Panca Setiadi, Nawawi, Nurlaila, dan Djoko Budiono; Perkara Nomor 91/PUU-XVI/2018 yang dimohonkan Novi Valentino, Fatmawati, Markus Iek, Yunius Wuruwu, dan Sakira Zandi; dan Perkara Nomor 15/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Yuliansyah yang berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kabupaten Musi Banyuasin.
Dalam pertimbangan hukum Perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018, Mahkamah melalui Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyampaikan bahwa dengan telah dikabulkannya sebagian substansi norma Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN dan terlepas dari permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 42 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, maka permohonan para Pemohon telah kehilangan objek.
Sebelumnya para Pemohon mengajukan perkara Nomor 88/PUU-XVI/2018 ini mendalilkan kata “dapat” dalam Pasal 87 ayat (2) UU ASN dapat menimbulkan pelaksanaan norma yang bersifat subjektif berdasarkan pelaksana undang-undang. Selanjutnya, menurut Pemohon, frasa “melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana” dalam Pasal 87 ayat (4) huruf d tidak memuat klasifikasi tindak pidana secara spesifik. Hal tersebut dinilai Pemohon menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapan norma a quo. Pemohon menyimpulkan, seluruh norma yang Pemohon ujikan pada dasarnya telah bertentangan dengan kepastian hukum. (Sri Pujianti/LA–MKRI)