JAKARTA – Setiap bagian dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang mengandung unsur penindakan didasarkan atas pada niatan melindungi masyarakat dari dampak negatif yang muncul dari kejadian kecelakaan. Hal ini disampaikan Danang Parikesit dalam keterangannya sebagai ahli yang dihadirkan Polri pada sidang lanjutan uji materiil aturan penggunaan GPS dalam UU LLAJ pada Rabu (6/6) siang.
“Aspek pencegahan menjadi elemen penting kesuksesan pemerintah sebagai penerima mandat undang-undang untuk mengurangi jumlah kecelakaan dan fatalitas akibat kecelakaan,” ujar Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia menanggapi permohonan 23/PUU-XVI/2018 tersebut.
Dalam keterangannya, Danang menyebut terminologi pelarangan penggunaan telepon selama mengemudi telah diadopsi oleh undang-undang dan regulasi di lebih dari 30 negara. Bahkan di Portugal, lanjutnya, penggunaan handsfree pada telepon seluler juga dilarang selama mengemudi kendaraan. Artinya, aktivasi dengan menggunakan suara pun dianggap merupakan distraksi yang dapat meningkatkan faktor risiko tabrakan dan/atau kecelakaan.
Selain itu, Danang menyebut penyusun undang-undang telah mendudukkan penggunaan telepon seluler sebagai faktor risiko dominan dalam penyebab distraksi motorik visual dan audio dalam proses berkendara. Keputusan penyusun undang-undang, lanjutnya, telah tepat dilakukan karena sejalan dengan pertemuan berbagai riset global mengenai dampak penggunaan telepon seluler serta undang-undang dan peraturan yang digunakan sebagai alat penegakan hukum di berbagai negara di dunia. “Penggunaan telepon dengan segala fiturnya selama mengemudi yang menyebabkan teralihnya perhatian dalam waktu lebih lama dari waktu reaksi, seperti kami sampaikan tadi, menghadapi kejadian yang membahayakan,” terangnya.
Faktor Kognitif
Sementara itu, Guritnaningsih yang juga dihadirkan Polri sebagai Pihak terkait menjelaskan konsentrasi menjadi keharusan bagi pengendara bermotor karena mengemudi merupakan kegiatan yang kompleks dengan melibatkan faktor sensomotorik, kepribadian, kognitif, dan demografis. Di antara faktor tersebut, faktor kognitif sering kali kurang disadari sebagai faktor yang penting dalam menentukan perilaku mengendarai kendaraan bermotor. Lebih lanjut, Guritnaningsih, menjelaskan ada dua beban kognitif dalam mengendarai kendaraan terutama yang disebutkan dalam Pasal 105 dan 106 ayat (1) UU a quo, yaitu konsentrasi dan menggunakan GPS pada saat mengemudi yang merupakan gabungan dari beberapa kegiatan secara simultan.
“Sebagai contoh, ketika ada kritik terhadap individu di bawah umur yang mengendarai sepeda motor, umumnya menanggapi dengan beberapa jawaban seperti kaki pengendara sudah mampu menyangga motor atau menggunakan rem dan gas. Tanggapan ini menunjukkan dalam pandangan sebagian masyarakat hal yang penting dalam mengendara adalah faktor sensomotorik. Pandangan ini sudah tentu tidak tepat,” jelas Guritnaningsih di hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Sebagaimana diketahui, lanjut Guritnaningsih, situasi jalan raya sangat cepat berubah yang memerlukan respon cepat agar terhindar dari kecelakaan. Sedangkan konsentrasi adalah, kemampuan untuk memusatkan perhatian atau atensi pengendara pada tugas mengendara dan tidak terdistraksi oleh gangguan yang berasal dari diri sendiri maupun dari luar diri pengendara. Atensi dan konsentrasi penting karena situasi lalu lintas yang dihadapi pengemudi saat berkendara merupakan situasi yang dinamis, kompleks, dan berubah setiap saat.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan pengendara seperti menggunakan telepon genggam adalah ketika seseorang melakukan hal tersebut berarti dia melakukan dua atau lebih tugas secara bersamaan. Artinya, pengendara melakukan ketika mengendarai kendaraan bermotor, lalu menggunakan telepon genggam secara aktif maka terjadi pusat perhatian yang terpisah (devided attention). Adanya kapasitas kognitif terbatas pada manusia ini akan semakin terbebani ketika dalam satu waktu harus berkonsentrasi pada dua tugas secara sekaligus.
“Dengan demikian, ketika pengendara dengan sengaja menggunakan handphone untuk keperluan memencet tombol atau mencari lokasi melalui GPS, maka perhatiannya akan tertuju pada layar handphone. Situasi ini menyebabkan terjadinya devided attention sehingga pengemudi kurang tanggap terhadap stimulasi yang datang dari lingkungan sekitar dan lambat untuk menampilkan respons,” tegas Guritnaningsih.
Ketentuan Pidana
Marcus Priyo Gunarto yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana dari UGM dalam keterangannya selaku ahli Pihak Terkait lainnya, menjabarkan tidak semua perbuatan yang membahayakan masyarakat harus diselesaikan melalui hukum pidana. Perbuatan yang membahayakan akan ditetapkan sebagai perbuatan pidana apabila pembentuk undang-undang memandang cara lain selain hukum pidana dipandang tidak efektif dan tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Fungsi hukum pidana tersebut sering disebut fungsi subsider, yaitu hukum pidana baru akan digunakan apabila sarana lain dipandang tidak memberikan hasil untukmencapai tujuan yang dikehendaki. Namun, apabila pembentuk undang-undang memandang sifat berbahayanya perbuatan yang harus dilindungi sedemikian besar, maka pembuat undang-undang akan menanggulangi perbuatan yang membahayakan masyarakat dengan hukum pidana.
Dalam persoalan tersebut, lanjut Marcus, mengendarai kendaraan bermotor di jalan apabila tidak dijalankan sacara hati-hati serta memenuhi persyaratan berlalu lintas akan menimbulkan bahaya, baik terhadap diri pengemudi maupun kepentingan hukum orang lain yang berada di ruang jalanmaupun yang berada di pinggiran jalan. “Mengingat begitu tingginya kejadian maupun korban kecelakaan dan berdasarkan sifat berbahayanya perbuatan dan kepentingan hukum yang harus dilindungi, pembentuk undang-undang mempunyai alasan yang kuat untuk mengkriminalisasi perbuatan pengemudi yang tidak mengemudi kendaraan dengan wajar dan penuh konsentrasi,” terang Marcus. Dalam permohonannya, Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ. Pemohon menilai ketentuan tersebut bertentangan secara bersyarat terhadap UUD 1945, terutama Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1). Pemohon beralasan bahwa frasa “menggunakan telepon“ pada Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ tersebut, sebagai salah satu sebab terganggunya konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor haruslah memiliki maksud yang jelas. Sehingga, tidak terjadi multitafsir dalam pemberlakuannya. (Sri Pujianti/LA–MK)